AdCoba

Tuesday 2 September 2008

CURHAT

Well!!! Saya sedang berusaha keras memepalajari bagaimana mengedit blogger dalam bentuk template classic. Alhasil, saya tertidur di pertemuan perdana mata kuliah ekonomi publik hari kemarin.
Benar-benar belum bisa mengerti bahasa pemrograman HTML nampaknya saya. huks huks T.T
Kepada semuanya, doakan saya ya... ^^
Saya akan terus berusaha memberi yang terbaik untuk pembaca blog saya.
Amien...

Monday 1 September 2008

Sinopsis : Tirani Kidnapped

Rani adalah seorang gadis biasa yang hidup dalam suasana serba mewah. Ia sangat terbiasa dengan makanan restoran yang mahal dan baju-baju boutique atau baju mal yang harganya di atas rata-rata orang membeli baju. Kehidupannya yang serba terpenuhi tersebut membuat dirinya manja dan tidak peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

Namun di balik kehidupannya yang menyenangkannya tersebut, sebenarnya ia tidak menyukai hidupnya. Kedua orang tuanya terlalu sibuk bekerja sehingga jarang sekali ia bisa melihat wajah kedua orang tuanya. Ditambah lagi dengan kasus yang telah merenggut nyawa kakaknya sewaktu ia SMP.

Sampai pada suatu ketika ketika ia tengah menikmati liburannya dengan ketiga teman dekatnya, seseorang dengan nekat menculik dirinya. Ia kemudian dibawa menjauh dari teman-temannya, keluarganya dan kehidupan mewahnya. Namun dari penculikan tersebut, ia mendapati titik terang tentang dirinya. Ia menjadi sedikit tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Rani saat ia diculik?

Tirani Kidnapped - Bab 1

1

D 412 IS

“HUAAAAA... AKU TELAT!!!!”

Terdengar suara berisik memecahkan keheningan pagi disusul oleh gemuruh langkah kaki mungil yang berdebam dari lantai dua.

“Non, jangan gedebrak-gedebruk di atas. Nanti rumahnya ambruk.” Kata Bi Lila dari lantai satu.

Sosok pembuat gemuruh tersebut muncul menuruni tangga sambil merapikan rambutnya yang panjang lurus terurai setengah berantakan. Sesosok mungil yang mengenakan baju putih berkerah dan rok abu-abu. Seragam SMA.

“Bi, siapin sepatuku!” Kata Rani.

“I...Iya, Non.” Jawab Bi Lila sedikit tergagap. Meskipun sudah berumur 40-an, namun kelincahannya tidak kalah oleh umurnya. Wajahnya masih cukup bersinar dalam keramah-tamahan dan kepolosannya dalam pengabdiannya kepada keluarga Rani. Rambutnya sudah menyerupai warna zebra, hitam dan putih. Beberapa keriput sudah Nampak dari wajahnya, namun sering tak terlihat karena wajahnya yang sering tersenyum. Dan lebih baik kita berhenti mendeskripsikan Bi Lila, karena ia bukanlah pemeran utama di sini.

Rani meluncur menuju ruang makan sambil membetulkan ikat pinggangnya yang ternyata ia pakai terbalik. Ia membuka sebuah pintu kayu besar berplitur dan berwarna coklat tua. Dengan sebuah gagang berwarna emas yang menempel pada pintu tersebut menandakan betapa eksklusifnya pintu tersebut.

Rani tiba di sebuah ruangan luas berubin putih mutiara. Nyaris di sekeliling ruangan tersebut adalah kaca yang menggantikan tembok. Melalui kaca tersebut, ia dapat melihat pekarangan rumahnya yang luas, rapi, terawat dan artistic. Disertai dengan sebuah kolam ikan memenuhi tuntutan kesempurnaan sebuah taman perfektif yang tak bisa dimiliki oleh semua orang.

Di bagian tembok yang sejajar dengan pintu tempat Rani masuk dihiasi dengan batu-batu kecil berwarna abu-abu tua berukuran persegi panjang kecil-kecil yang tertata rapi dialiri dengan air yang mengucur dari atas tembok tersebut sehingga menimbulkan efek gemericik air yang tenang dan mendukung suasana sebuah ruang makan. Dan dengan sedikit sihir dari arsitek yang membangun ruangan tersebut, membuat angin silir terus berhembus di ruangan tersebut. Di tengah ruangan tersebut terdapat sebuah meja kaca persegi yang dikelilingi dengan 6 buah kursi. Keenam kursi tersebut kosong. Dari lubuk hati Rani yang paling dalam, sebenarnya ia sedih melihatnya.

“Bi Lila!! Cepetan!!! Aku ada ulangan, nih!”

“Sabar, Non...” Suara Bi Lila terdengar dari pintu ruangan yang satu lagi, “Sepatunya mau yang putih atau yang merah jambu?”

“Yang mana aja yang penting cepetan, ich!!!”

“Baik, Non...” Segera terdengar gemuruh perjuangan Bi Lila untuk mencarikan sepatu anak majikannya, “Kin, cepat siapin makan buat non!”

Sebuah suara perjuangan tambahan muncul dari arah dapur. Nampak seseorang langsung sibuk memasak karena perintah Bi Lila.

“Ini, Non.” Bi Lila datang dengan membawakan sepasang sepatu berwarna putih.

Pakein...” Rengek Rani. Ia duduk di meja makan sambil membaca Fisika kelas 2, “Duh, laper nih... Cepetan dong. 5 menit lagi masuk, nih.”

“Iya, Non. Cuma tinggal ngangetin kok. Habisnya non tadi nggak bangun-bangun nasi gorengnya keburu dingin.”

Rani cemberut mendengar omongan Bi Lila barusan. Ia melihat jam tangan putih yang melingkar di tangannya, “Ah, udah ah. Aku makan di sekolah aja.”

Rani berdiri dari tempat duduknya dan membawa tasnya keluar dari ruang makan.

Seorang laki-laki berkulit sawo hitam nyaris busuk datang membawakan sepiring nasi goreng dengan wajah melengos, “Eh, tunggu non. Ini nasi gorengnya gimana?!”

“Ah, Mas Ikin lama sih. Bi Lila, suapin.”

“Terus sekolahnya gimana, Non?” Tanya Bi Lila heran.

“Ya suapin di mobil! Bi Lila ikut!”

Bi Lila makin heran. Namun Rani langsung menariknya. Mas Ikin cepat-cepat memberikan piring nasi gorengnya kepada Bi Lila. Meski berkulit sawo busuk, nggak ganteng dan hanya lulusan SD (itupun hanya kelas dua), namun Mas Ikin juga sangat menyayangi Rani. Ia adalah seseorang yang agak telmi. Meskipun telmi, ia adalah seorang juru masak yang handal. Tetapi ia juga bukan pemeran utamanya.

Rani dan Bi Lila berlari-lari kecil menuju pintu depan, sebuah pintu besar yang memisahkan ruangan yang mirip istana dengan dunia luar. Di sana telah berdiri seorang sopir bernama Pak Giman. Seseorang yang gemuk dan dapat dipastikan sulit untuk berlari. Kumisnya baplang dan wajahnya amat mirip seperti peran utama di film koboi-koboi zaman dulu. Orangnya agak narsis dan senang bercanda. Dan lagi-lagi, ia bukan pemeran utamanya.

“Non, gimana kaos hawai yang dipakai bapak? Keren, Kan?”

“Ugh, Bapak. Ayo berangkat. Telat! Telat! Telat!” Kata Rani sambil menarik Bi Lila menerobos masuk kursi penumpang mobil MPV berwarna hitam. Bi Lila nyaris menumpahkan nasi gorengnya. Untungnya reflek Bi Lila cukup baik sehingga dalam sekejap ia bisa menyeimbangkan piring yang ia pegang.

“Siap, Non...” Kata Pak Giman berjalan santai menuju kursi pengendara.

“PAK GIMAN!!! BISA CEPET DIKIT NGGAK?!”

Mobil MPV hitam itu kini melaju. Sedikit memutari taman untuk keluar dari pekarangan rumah gedongan yang mewah tersebut. Di dalam mobil, Bi Lia mulai menyuapi Rani dan Rani mengunyah sambil menghafalkan. Karena jalan yang sedikit rusak di jalan depan rumah Rani, Rani sedikit tersedak.

“Bi, minum... Minum...”

Bi Lila terdiam, “Nggak bawa, Non...”

“BIBI!!!”

Itulah Rani. Nama aslinya adalah Tirani Mitharasti. Sekarang ia sekolah di salah kelas 11 SMA di satu sekolah negeri di kota Bandung. Matanya sedikit sipit berwarna kecoklatan. Ini adalah keturunan dari ayahnya yang notabene punya keturunan orang china walaupun tidak secara langsung. Wajahnya manis dan putih. Hidungnya pesek dan berbibir tipis seperti ibunya. Rambutnya panjang sebahu lebih sedikit berwarna hitam asli dan ia senang untuk mengurainya. Orangnya pendek imut-imut. Suaranya cempreng dan tingkahnya manja. Polos dan paling doyan ngobrol apalagi tentang perhiasan dan barang di mal yang lagi diskon. Meski begitu, ia adalah pusat perhatian jika sedang bersama teman ngumpulnya. Ya, ia adalah orang yang disenangi oleh banyak orang di lingkungannya. Ya, ia adalah orang yang setiakaan. Dan ya, ia adalah pemeran utamanya.

Namun di balik kebaikan pasti ada kekurangan. Dibalik kepopulerannya itu, ia adalah pribadi yang malas. Pagi yang heboh ini adalah salah satu hasil karya kemalasannya. Dan perlu diingat juga, tak ada gading yang tak retak. Di balik kehidupannya yang tampak sempurna itu, ada sebuah lubang hitam menganga dalam kehidupan keluarga Rani. Sebuah lubang hitam yang terus berusaha menghisap Rani ke dalamnya meskipun ia terus berusaha mengelak darinya. Yang terus membuatnya teringat meskipun Rani berusaha sekuat tenaga untuk melupakannya. Yang terus muncul walau Rani telah menguburnya dalam-dalam. Yang ia bisa lakukan sekarang hanyalah hidup dalam kebohongan. Dengan berpura-pura hal itu tidak pernah terjadi.

♠♠♠

Mobil MPV Rani tiba di depan gerbang sebuah SMA negeri. Dengan seorang satpam yang menjaga gerbang tersebut. Celakanya bagi Rani, satpam tersebut hendak menutup pagar tersebut. Rani langsung meloncat dari mobil dan mengejar gerbang sebelum tertutup. Satpam berbadan kurus kerempeng dan bertampang sedikit konyol melihat ke arah Rani dan diiringi dengan sedikit senyum kemenangan.

BRAK!

Pintu gerbang tersebut tiba-tiba tidak mau bergerak. Satpam itu terus berusaha menariknya, namun gerbang tersebut tetap tidak mau bergerak. Satpam itu dengan wajah heran mencoba memeriksa penyebab gerbangnya tidak mau bergerak. Dan ia melihat sebuah batu yang cukup besar mengganjal engsel gerbang tersebut. Di sebelah gerbang tersebut berdiri 3 orang murid yang tampak sedang berusaha bertampang tanpa dosa. Dua cewek dan satu cowok.

“Makasih udah nungguin Rani, Pak.” Kata Rani sambil berlari menerobos gerbang yang tak mau tertutup.

“Walah, inyong dikerjain maning.” Kata satpam itu sambil menepuk keningnya. Rani beserta ketiga temannya memasuki halaman sekolah sambil tertawa.

Sebuah bangunan tua khas Belanda yang mendapatkan sedikit sentuhan modernistik. Kira-kira seperti itulah gambaran gedung sekolah ini secara luas. Atau lebih tepatnya, penghargaan terhadap masa lalu. Beberapa gedung tetap dibiarkan keadaannya seperti pada bentuknya di zaman dahulu. Hanya saja cat dan bagian interiornya telah banyak diperbaharui. Walaupun begitu, beberapa gedung baru telah ditambahkan menempel di sebelah gedung tua ini demi menambah kapasitas kelas sekolah.

Murid yang mendapatkan ruang kelas di gedung tua sudah tentu harus lebih bersyukur. Jarak antara lantai dengan langit-langitnya jauh melebihi jarak bangunan-bangunan baru zaman sekarang. Membuat udara di dalam kelas tersebut lebih dingin dalam musim kemarau yang panas. Membuat otak lebih bisa digunakan karena udara yang sejuk. Dan membuat para pemalas lebih cepat untuk tidur di kelas. Murid-murid yang beruntung mendapatkan kelas tersebut adalah keseluruhan kelas 12 dan sebagian kelas 11. Tentunya para guru berpikir untuk menyuport para murid kelas 12 salah satunya dari segi fasilitas untuk mendapatkan angka lulusan yang tinggi.

Rani dan ketiga kawannya adalah murid kelas 11 yang beruntung karena mendapatkan ruang kelas di gedung lama. Dibawah naungan langit-langit yang tinggi dan dihembusi angin pagi yang sejuk, kini mereka sedang menghadapi ulangan fisika yang paling tidak dikuasai Rani.

Rani berulang-ulang mengintip ke jendela besar yang berada di sebelah tempat duduknya dengan cemas. Memandang beberapa daun pisang yang berada di luar jendela. Seperti berharap terdapat rumus tentang gerak sentrifugal tertulis di daun pisang tersebut.

Tentu tidak. Rumus tidak akan tertulis di daun pisang. Tapi ia berada di bawah pohon pisang, lengkap beserta buku-buku yang memuat rumus yang dibutuhkan Rani untuk menjawab soal-soal ulangannya, dilengkapi seorang wanita yang memegangi buku-buku itu sambil celingukan takut ketahuan satpam.

“Bi Lila, halaman selanjutnya!” Bisik Rani.

♠♠♠

Matahari seakan tepat berada di atas ubun-ubun. Bayangan dedaunan rimbun dari pepohonan berumur lebih dari 50 tahun yang tumbuh di sekeliling jalan sekolah negeri Rani seakan melindungi apa yang berada di bawahnya dari sengatan matahari. Terlihat di seberang jalan dari sekolah seorang tukang es potong dengan giat mendagangkan barang dagangannya sambil teriak-teriak, melihat para murid sekolah tempat ia berjualan berhamburan pulang. Tukang penjual minuman yang biasa mangkal di taman sebelah sekolah bisa tersenyum puas karena banyak sekali yang membeli minumannya. Entah itu dari orang lewat yang kehausan, maupun murid sekolah yang tidak langsung pulang tetapi bermain bola di taman tersebut. Sedangkan Rani dan ketiga temannya sedang duduk di kantin sekolah yang berada di sebelah taman tempat anak-anak bermain bola.

Siang hari yang mungkin indah bagi sebagian orang itu datang jauh lebih lambat dari perkiraan Rani. 3 jam pelajaran Fisika tadi terasa bagaikan 3 hari baginya. Rani gagal total dalam mengerjakan ulangannya. Bi Lila yang menjadi harapannya satu-satunya ngibrit karena mendengar suara satpam mendatanginya. Tak berbeda dengan teman-teman Rani. Aris mengeluh karena hanya bisa mengerjakan 3 dari 10 soal. Dan Nive bisa 5. Berbeda dengan Erlin. Dari mereka berempat, Erlin lah yang paling pintar. Ia bagai mutiara di dalam lumpur. Bagai mawar di antara duri. Bagai perawan di sarang penyamun. Dia bisa mengerjakan semuanya.

“Gila abis tuh soal. Einstein aja rambutnya bisa jadi hitam lagi kalau dapat soal kayak begituan.” Kata Aris sambil mengacak-acak rambut rancungnya. Ia adalah satu-satunya cowok di antara teman ngumpul Rani di sekolah. Badannya tinggi tegap, rambutnya rancung, hidungnya tak kalah rancung dengan rambutnya, kulitnya putih dan lumayan ganteng. Tipe cowok metropolis. Namun apa yang berada di dalam kepalanya tidak sebaik apa yang membungkusnya. Meski menjadi laki-laki satu-satunya di antara mereka berempat, tetapi perlu diketahui bahwa Aris bukanlah seorang laki-laki kewanitaan. Ia adalah seorang laki-laki jantan yang cukup bisa diharapkan (kecuali dalam masalah pelajaran sekolah).

“Ran, kok tadi jawabannya stop gitu aja, sih?” Tanya Nive. Ia adalah cewek bertubuh paling besar di antara mereka berempat. Bahkan terkadang ada yang bilang mereka selalu berlima (Nive dihitung 2). Rambutnya sedikit ikal dan panjang. Kebiasaannya adalah mengikat buntut kuda pada rambutnya yang ikal. Meski tubuhnya besar, ia cukup manis jika diperhatikan. Pipinya chubby dan murah senyum. Matanya hitam khas orang Indonesia asli.

“Sori, Bi Lila nyaris ketahuan satpam tadi.” Jawab Rani dengan nada khas anak kecilnya.

“Lin, tadi kamu bisa nggak?” Tanya Aris.

Erlin hanya tersenyum. Untuk cewek yang satu ini, sangat sulit bagi makhluk planet Mars▬cowok untuk tidak meliriknya. Kulitnya putih bersih, matanya hitam kecoklatan berbinar menandakan tatapan penuh kasih sayang, bibirnya tipis kecil dan sering tersenyum. Berbeda dengan Aris, isi kepala Erlin imbang dengan apa yang membungkusnya. Ia pun tidak sombong dan baik kepada orang di sekitarnya. Juga selalu menjadi ranking pertama di kelas. Cewek yang nyaris sempurna. Nyaris...

“Elin mah jangan ditanya. Tadi aku lihat jawabannya 4 halaman full.” Kata Nive bete, “Mimpi gue bisa ngerjain sampai segitu.”

“Jangan gitu, Niv. Nggak ada yang mustahil, kok.” Kata Erlin.

“Udah jangan pada bete gara-gara ulangan, dong! Cari makan, yuk.” Ajak Aris, “Pake mobil gue, deh.”

“Asik!!! Cari steak yuk! Ayuk! Ayuk!” Rani antusias sambil teriak-teriak. Nyaris seluruh orang di kantin melihat ke arah mereka berempat.

“Sssstt... malu-maluin!” Kata Aris, “Lagian siapa yang ngajak kamu! Yang diajak Cuma Nive sama Erlin, kok.”

“ICH!!! ARIS!!! IKUT!! IKUT!!!” Rengek Rani sambil berteriak-teriak. Kali ini jauh lebih keras. Erlin dan Nive berusaha membekap mulut Rani. Kali ini, tak terkecuali satu orangpun, semua orang di kantin melihat ke arah mereka berempat.

“Dasar gordes! Gorowok desa!” Kata Aris malu.

Setelah mengevakuasi sumber keributan di kantin ke mobil Aris, berangkatlah mereka berempat. Akomodasi seperti ini biasanya ditanggung oleh Rani atau Aris. Tergantung mood, misalkan sedang ingin naik mobil Rani, Rani akan menelpon Pak Giman untuk menjemputnya sekaligus mengantarkan mereka berempat. Namun mereka lebih sering menaiki mobil sedan putih berplat nomor D 412 IS - Aris, mobil putih kesayangan Aris meskipun Aris terkadang marah-marah jika mereka mengotori mobilnya.

Sesampainya di sebuah resto café yang lumayan penuh, mereka memesan makanan yang mereka inginkan. Obrolan kembali menjadi seru di dalam café. Dan suasana kembali menjadi seru karena Rani kembali membuat mereka berempat menjadi pusat perhatian karena tingkah dan suaranya yang tidak mengenal volume kecil atau mute.

♠♠♠

Jam menunjukkan pukul 5 sore. Sinar matahari sore dan lembayung yang mulai keluar tampak menyinari sebuah rumah megah dengan pekarangan indah nan luas. Terdengar gemericik air terjun kecil di kolam ikan pada halaman tersebut. Suaranya menenangkan perasaan bagi siapa yang mau mendengarkannya dengan hati. Beberapa pohon pinus pun berdiri tegak di antara rerumputan hijau yang terawatt dengan baik di halaman tersebut. Dibatasi oleh sebuah pagar besar dan mewah dengan motif seperti ujung tombak pada bagian puncaknya.

Sebuah mobil sedan putih berhenti di depan pagar tersebut. Menurunkan seorang gadis mungil berseragam SMA yang tampak tak bisa diam.

“Aris, makasih ya... Mau masuk dulu nggak?” Kata Rani sambil loncat-loncat kecil di luar mobil.

“Nggak ah, udah sore, Ran.” Kata Erlin.

“Sabtu deh, aku main.” Kata Nive.

“Oke, gue cabut dulu ya. Salam buat ortu!” Kata Aris.

“Dadaaaaaaah...” Kata Rani sambil melambaikan tangannya dengan semangat. Dalam beberapa detik, sedan putih itu sudah meninggalkan Rani sendirian di depan rumahnya. Kesepian mulai mendera dirinya.

Rani membalikkan dirinya dan berjalan menuju pagar rumahnya. Membunyikan bel yang berada di balik tembok di seberang pagar. Bagi orang yang belum pernah berkunjung ke rumah ini, pasti membutuhkan waktu lebih dari seperempat jam karena kesulitan mencari letak bel yang agak tersembunyi itu.

DENGGG

Suara bel bergema dari dalam rumah dan terdengar sampai ke luar. Dalam beberapa detik, Mas Ikin keluar bertelanjang kaki sambil berlari-lari kecil dan senyam-senyum nggak jelas. “Non, mari masuk. Mari masuk...”

“Angg... Mas Ikin bau. Belum mandi pasti!” Kata Rani.

“Ah, nggak ah. Perasaan non aja kale.” Mas Ikin menyanggah sambil mencium kedua ketiaknya.

“Jorok!” Rani ngelonyor masuk, “Papa Mama mana, Mas?”

KRIEEEK

Suara pagar ditutup. Mas Ikin nyengir ke arah Rani, “Kayaknya pulang malem lagi, Non.”

“Oh...” Rani membuang muka dari Mas Ikin. Ia berjalan menuju rumah dengan langkah berat. Sori, Ris. Kayaknya salam kamu buat ortu gue gak bisa gue sampein hari ini. Pikirnya dalam hati. Inilah salah satu penyebab Rani malas pulang ke rumah. Orang tuanya selalu pergi lebih pagi-pagi sekali dan pulang larut malam. Sehingga jarang sekali ia bisa melihat wajah kedua orang tuanya.

Ia masuk ke ruang utama rumahnya. Memandang foto ia bersama keluarganya yang terpampang besar di dinding tengah. Hatinya tidak pernah tidak sakit jika memandang foto itu. Namun ia juga tidak bisa untuk tidak melihat foto itu tiap kali ia memasuki rumahnya. Selalu ada keinginan untuk melihat foto tersebut. Seorang pria setengah baya bermata sipit memakai jas dan kemeja putih berdiri di kiri atas foto tersebut. Ia adalah ayah Rani. Di sebelahnya seorang wanita mungil cantik memakai kebaya berwarna merah. Ia adalah Ibu Rani. Di barisan bawah paling kiri adalah Rani sendiri yang memakai kebaya merah menyerupai ibunya. Di sebelah Rani yang duduk di tengah adalah seorang anak laki-laki tembem dengan mengenakan jas kecil dan kaos sanghai. Matanya sipit dan kulitnya sawo matang. Ia adalah adik Rani. Di sebelahnya duduk dengan kedua tangannya berada di paha, tersenyum manis dan dewasa. Wajahnya menyerupai Rani dalam versi lebih dewasa dengan kebaya merah juga. Ia adalah kakak Rani.

Rani melangkah menuju kamarnya di lantai dua. Sebelum sampai di tangga menuju lantai dua, secara tak sengaja ia melihat ke arah ruang makan. Di sana duduk seorang anak laki-laki berkulit sawo matang. Dia adalah anak kecil di foto keluarga Rani. Dan dia adalah satu-satunya alas an mengapa Rani masih betah untuk tinggal di rumah.

“Mik, lagi apa?” Tanya Rani.

“Kakak... Miko lagi nunggu kakak.” Kata Miko. Ia turun dari tempat duduknya dan berlari ke arah Rani dan memeluknya. Rani membungkuk dan menyambutnya, “Kok baru pulang, Kak?”

“Iya, tadi main dulu sama temen.” Kata Rani, “Gimana tadi sekolahnya? Nakal ya kamu?”

“Nggak, Kak. Cuma tadi waktu si Rian maksa minjem pensil aku...”

“Iya?”

“Aku tonjok aja idungnya.” Kata Miko bersemangat menceritakannya sambil memeragakan bagaimana ia meluncurkan tonjokannya.

Rani terkekeh geli sekaligus ngeri membayangkan tingkah yang tadi adiknya lakukan pada temannya, “Nggak boleh gitu, dong. Nanti kalau ketahuan guru kamu bisa dimarahin.”

“Nggak kok. Gurunya juga udah tahu kalau aku anak baik-baik.”

Rani kembali geli. Anak baik-baik menonjok hidung temannya?

“Ko, kakak naik dulu ya. Kalau pengen makan ngomong aja ke Mas Ikin.” Kata Rani.

Miko mengangguk-angguk, “Nanti Miko bawain es teh deh, Kak.”

Rani tersenyum. Ia mengangkat tasnya dan menuju ke kamarnya. Es teh? Ya, itu adalah minuman satu-satunya yang bisa Miko buatkan selain air putih dan air es. Meski begitu, ia sangat menyayangi Rani. Miko cukup berbeda dengan Rani. Ia sangat rajin dan termasuk pintar di kelasnya. Ia juga orangnya lucu, sehingga teman-temannya biasa memanggilnya ‘Miko Mouse’. Ia juga tegar dan baik hati. Rela berkorban dan bersikukuh jika ia merasa benar.

“Kak...” Panggil Miko sat Rani nyaris sampai di lantai atas.

“Ya?”

“Kak Alexa udah telpon lagi belum dari Malaysia?”

Hati Rani mencelos. Ia terdiam sejenak, kemudian memaksakan sebuah senyuman. “Belum, nanti Kak Rani SMS dia, Ok?”

“Ok, Kak.”

Rani mempercepat jalannya menuju ke kamarnya. Ia menyusuri teras lantai 2 dan menuju pintu kamar berwarna putih. Ia membuka pintu tersebut. Saat di buka, bau harum lavender langsung tercium. Wewangian kesukaan Rani.

Rani cepat-cepat menutup pintu kamarnya dan langsung merebahkan dirinya di spring bed dengan bed cover pink nya. Jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba menarik nafasnya dalam-dalam dan menenangkan dirinya. Di hidupnya, Rani memang terkadang suka berbohong, namun kebohongan ini adalah kebohongannya yang paling menyakitkan.

Ia menatap dinding kamarnya yang berwarna pink dan putih sambil terus mencoba menenangkan dirinya. Setelah merasa sedikit tenang, ia duduk di depan meja belajar 2 tingkatnya yang berpadu antara warna pink dengan putih. Ia membuka laci bawah kiri dari lemari tersebut. Di dalam laci tersebut bertumpuk foto-foto, entahhanya fotonya maupun foto yang masih dengan bingkainya. Terkesan terburu-buru dimasukkan namun tatanannya cukup rapi. Rani sengaja menyimpan foto-foto tersebut sesuai dengan keadaan sebelumnya.

Cukup aneh untuk seorang gadis menyimpan foto teman perempuannya di laci. Namun foto-foto itu bukanlah foto-foto teman perempuannya, melainkah foto Alexa-kakaknya. Atau lebih pantas jika disebut, almarhum kakaknya.

Nyaris dua tahun sudah kepergian Alexa. Namun Rani sangat menyayangkan kenangan Alexa di rumah ini nyaris tak tertinggal sedikitpun. Kedua orang tuanya setuju untuk melupakan Alexa, atau paling tidak “mengesampingkan” segala urusan tentang Alexa demi Rani. Mereka berpendapat bahwa dengan melakukan hal ini, dapat membuat Rani menjadi gadis yang lebih kuat dan menerima kenyataan. Yah, selama ini Rani berhasil. Berhasil hidup dalam sebuah kebohongan. Ia sebenarnya sama sekali tidak bisa melupakan kakaknya.

Dulu kakaknya adalah tempat segala macam penumpahan emosinya. Jika sedang senang, ia bercerita pada Alexa. Jika sedang sedih, ia menangis pada Alexa. Bahkan jika sedang marah, ia memarahi Alexa. Namun Alexa yang Rani ingat hanya tersenyum kepadanya dan selalu membukakan mata Rani terhadap masalah yang sedang ia hadapi. Seberat apapun masalahnya. Ia tak pernah menawarkan sebuah jalan keluar dari masalah rani. Ia tak mau membuat adiknya menjadi lemah seperti itu. Alexa hanya menenangkan pikiran Rani dan membiarkan Rani mengambil keputusannya sendiri dan kemudian mendukung keputusan adiknya itu.

Bagi Rani, Alexa sudah mendapatkan bagian khusus dalam kehidupannya. Alexa lebih bernilai baginya dibandingkan kedua orang tuanya yang hanya bisa ia temui pada hari Sabtu dan Minggu jika mereka berdua tidak ada meeting tambahan ataupun rapat sebuah tender dalam bidang apapun. Alexa adalah kesempurnaan dalam hidup Rani.

Hanya karena sebuah penyakit bodoh bernama Leukimia-penyakit kanker darah putih dan sebuah kecelakaan yang sebenarnya tidak perlu yang disebabkan oleh ayahnya, kesempurnaan itu harus terenggut dari Rani. Kepergian kakaknya satu-satunya telah meninggalkan sebuah lubang besar dalam hatinya. Meninggalkan sebuah tempat yang tak bisa tergantikan oleh siapapun. Meninggalkan kebingungan pada diri Rani karena kehilangan satu-satunya orang yang ia percaya akan membimbingnya.

Rani belum berani dan tidak pernah berani untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya kepada Miko. Ia takut Miko akan shock dan berakibat buruk bagi perkembangan anak di usianya. Sehingga Rani dan kedua orang tuanya beserta seisi rumah setuju untuk mengarang cerita bahwa Alexa sedang sekolah Malaysia untuk menyembunyikan fakta dari Miko sampai sekiranya Miko bisa menerima apa yang sebenarnya telah terjadi.

Namun Rani tak sepenuhnya merasa benar akan tingkahnya ini. Setiap kali ia berbohong seperti barusan, jantungnya berdegup kencang. Ia seakan baru saja menelan sebuah belati bulat-bulat dan tersedak di leher. Pahit. Sakit. Namun sekarang Rani hanya bisa percaya bahwa inilah yang terbaik. Rani berjanji kepada Alexa untuk menjaga Miko walau apapun yang terjadi pada dirinya.

Beban hidup seorang remaja yang terkadang tidak dimengerti oleh orang lain di sekitarnya membuat seorang remaja membutuhkan seseorang di dekatnya yang ia percaya untuk bercerita. Namun Rani tak punya orang tersebut saat ini. Ia hanya punya foto orang yang ia percaya dengan dengan senyumnya yang dingin dan tidak akan membalas berbicara walau sekeras apapun Rani menjerit. Rani mengeluarkan foto Alexa dan memeluknya erat-erat.

Pembukaan Ramadhan

Sekarang kita telah memasuki hari pertama puasa dan hari pertama pada bulan Ramadhan.

Maafkan segala kesalahan FBM ya...

Semoga saya bisa terus menghibur anda semua melalui blog saya ini.

Oh, iya, memasuki bulan Ramadhan ini, saya telah memposting sebuah cerita yang lebih ke arah Teenlit dan pengerjaannya sedang dalam proses.

Happy Read