AdCoba

Tuesday 2 September 2008

CURHAT

Well!!! Saya sedang berusaha keras memepalajari bagaimana mengedit blogger dalam bentuk template classic. Alhasil, saya tertidur di pertemuan perdana mata kuliah ekonomi publik hari kemarin.
Benar-benar belum bisa mengerti bahasa pemrograman HTML nampaknya saya. huks huks T.T
Kepada semuanya, doakan saya ya... ^^
Saya akan terus berusaha memberi yang terbaik untuk pembaca blog saya.
Amien...

Monday 1 September 2008

Sinopsis : Tirani Kidnapped

Rani adalah seorang gadis biasa yang hidup dalam suasana serba mewah. Ia sangat terbiasa dengan makanan restoran yang mahal dan baju-baju boutique atau baju mal yang harganya di atas rata-rata orang membeli baju. Kehidupannya yang serba terpenuhi tersebut membuat dirinya manja dan tidak peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

Namun di balik kehidupannya yang menyenangkannya tersebut, sebenarnya ia tidak menyukai hidupnya. Kedua orang tuanya terlalu sibuk bekerja sehingga jarang sekali ia bisa melihat wajah kedua orang tuanya. Ditambah lagi dengan kasus yang telah merenggut nyawa kakaknya sewaktu ia SMP.

Sampai pada suatu ketika ketika ia tengah menikmati liburannya dengan ketiga teman dekatnya, seseorang dengan nekat menculik dirinya. Ia kemudian dibawa menjauh dari teman-temannya, keluarganya dan kehidupan mewahnya. Namun dari penculikan tersebut, ia mendapati titik terang tentang dirinya. Ia menjadi sedikit tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Rani saat ia diculik?

Tirani Kidnapped - Bab 1

1

D 412 IS

“HUAAAAA... AKU TELAT!!!!”

Terdengar suara berisik memecahkan keheningan pagi disusul oleh gemuruh langkah kaki mungil yang berdebam dari lantai dua.

“Non, jangan gedebrak-gedebruk di atas. Nanti rumahnya ambruk.” Kata Bi Lila dari lantai satu.

Sosok pembuat gemuruh tersebut muncul menuruni tangga sambil merapikan rambutnya yang panjang lurus terurai setengah berantakan. Sesosok mungil yang mengenakan baju putih berkerah dan rok abu-abu. Seragam SMA.

“Bi, siapin sepatuku!” Kata Rani.

“I...Iya, Non.” Jawab Bi Lila sedikit tergagap. Meskipun sudah berumur 40-an, namun kelincahannya tidak kalah oleh umurnya. Wajahnya masih cukup bersinar dalam keramah-tamahan dan kepolosannya dalam pengabdiannya kepada keluarga Rani. Rambutnya sudah menyerupai warna zebra, hitam dan putih. Beberapa keriput sudah Nampak dari wajahnya, namun sering tak terlihat karena wajahnya yang sering tersenyum. Dan lebih baik kita berhenti mendeskripsikan Bi Lila, karena ia bukanlah pemeran utama di sini.

Rani meluncur menuju ruang makan sambil membetulkan ikat pinggangnya yang ternyata ia pakai terbalik. Ia membuka sebuah pintu kayu besar berplitur dan berwarna coklat tua. Dengan sebuah gagang berwarna emas yang menempel pada pintu tersebut menandakan betapa eksklusifnya pintu tersebut.

Rani tiba di sebuah ruangan luas berubin putih mutiara. Nyaris di sekeliling ruangan tersebut adalah kaca yang menggantikan tembok. Melalui kaca tersebut, ia dapat melihat pekarangan rumahnya yang luas, rapi, terawat dan artistic. Disertai dengan sebuah kolam ikan memenuhi tuntutan kesempurnaan sebuah taman perfektif yang tak bisa dimiliki oleh semua orang.

Di bagian tembok yang sejajar dengan pintu tempat Rani masuk dihiasi dengan batu-batu kecil berwarna abu-abu tua berukuran persegi panjang kecil-kecil yang tertata rapi dialiri dengan air yang mengucur dari atas tembok tersebut sehingga menimbulkan efek gemericik air yang tenang dan mendukung suasana sebuah ruang makan. Dan dengan sedikit sihir dari arsitek yang membangun ruangan tersebut, membuat angin silir terus berhembus di ruangan tersebut. Di tengah ruangan tersebut terdapat sebuah meja kaca persegi yang dikelilingi dengan 6 buah kursi. Keenam kursi tersebut kosong. Dari lubuk hati Rani yang paling dalam, sebenarnya ia sedih melihatnya.

“Bi Lila!! Cepetan!!! Aku ada ulangan, nih!”

“Sabar, Non...” Suara Bi Lila terdengar dari pintu ruangan yang satu lagi, “Sepatunya mau yang putih atau yang merah jambu?”

“Yang mana aja yang penting cepetan, ich!!!”

“Baik, Non...” Segera terdengar gemuruh perjuangan Bi Lila untuk mencarikan sepatu anak majikannya, “Kin, cepat siapin makan buat non!”

Sebuah suara perjuangan tambahan muncul dari arah dapur. Nampak seseorang langsung sibuk memasak karena perintah Bi Lila.

“Ini, Non.” Bi Lila datang dengan membawakan sepasang sepatu berwarna putih.

Pakein...” Rengek Rani. Ia duduk di meja makan sambil membaca Fisika kelas 2, “Duh, laper nih... Cepetan dong. 5 menit lagi masuk, nih.”

“Iya, Non. Cuma tinggal ngangetin kok. Habisnya non tadi nggak bangun-bangun nasi gorengnya keburu dingin.”

Rani cemberut mendengar omongan Bi Lila barusan. Ia melihat jam tangan putih yang melingkar di tangannya, “Ah, udah ah. Aku makan di sekolah aja.”

Rani berdiri dari tempat duduknya dan membawa tasnya keluar dari ruang makan.

Seorang laki-laki berkulit sawo hitam nyaris busuk datang membawakan sepiring nasi goreng dengan wajah melengos, “Eh, tunggu non. Ini nasi gorengnya gimana?!”

“Ah, Mas Ikin lama sih. Bi Lila, suapin.”

“Terus sekolahnya gimana, Non?” Tanya Bi Lila heran.

“Ya suapin di mobil! Bi Lila ikut!”

Bi Lila makin heran. Namun Rani langsung menariknya. Mas Ikin cepat-cepat memberikan piring nasi gorengnya kepada Bi Lila. Meski berkulit sawo busuk, nggak ganteng dan hanya lulusan SD (itupun hanya kelas dua), namun Mas Ikin juga sangat menyayangi Rani. Ia adalah seseorang yang agak telmi. Meskipun telmi, ia adalah seorang juru masak yang handal. Tetapi ia juga bukan pemeran utamanya.

Rani dan Bi Lila berlari-lari kecil menuju pintu depan, sebuah pintu besar yang memisahkan ruangan yang mirip istana dengan dunia luar. Di sana telah berdiri seorang sopir bernama Pak Giman. Seseorang yang gemuk dan dapat dipastikan sulit untuk berlari. Kumisnya baplang dan wajahnya amat mirip seperti peran utama di film koboi-koboi zaman dulu. Orangnya agak narsis dan senang bercanda. Dan lagi-lagi, ia bukan pemeran utamanya.

“Non, gimana kaos hawai yang dipakai bapak? Keren, Kan?”

“Ugh, Bapak. Ayo berangkat. Telat! Telat! Telat!” Kata Rani sambil menarik Bi Lila menerobos masuk kursi penumpang mobil MPV berwarna hitam. Bi Lila nyaris menumpahkan nasi gorengnya. Untungnya reflek Bi Lila cukup baik sehingga dalam sekejap ia bisa menyeimbangkan piring yang ia pegang.

“Siap, Non...” Kata Pak Giman berjalan santai menuju kursi pengendara.

“PAK GIMAN!!! BISA CEPET DIKIT NGGAK?!”

Mobil MPV hitam itu kini melaju. Sedikit memutari taman untuk keluar dari pekarangan rumah gedongan yang mewah tersebut. Di dalam mobil, Bi Lia mulai menyuapi Rani dan Rani mengunyah sambil menghafalkan. Karena jalan yang sedikit rusak di jalan depan rumah Rani, Rani sedikit tersedak.

“Bi, minum... Minum...”

Bi Lila terdiam, “Nggak bawa, Non...”

“BIBI!!!”

Itulah Rani. Nama aslinya adalah Tirani Mitharasti. Sekarang ia sekolah di salah kelas 11 SMA di satu sekolah negeri di kota Bandung. Matanya sedikit sipit berwarna kecoklatan. Ini adalah keturunan dari ayahnya yang notabene punya keturunan orang china walaupun tidak secara langsung. Wajahnya manis dan putih. Hidungnya pesek dan berbibir tipis seperti ibunya. Rambutnya panjang sebahu lebih sedikit berwarna hitam asli dan ia senang untuk mengurainya. Orangnya pendek imut-imut. Suaranya cempreng dan tingkahnya manja. Polos dan paling doyan ngobrol apalagi tentang perhiasan dan barang di mal yang lagi diskon. Meski begitu, ia adalah pusat perhatian jika sedang bersama teman ngumpulnya. Ya, ia adalah orang yang disenangi oleh banyak orang di lingkungannya. Ya, ia adalah orang yang setiakaan. Dan ya, ia adalah pemeran utamanya.

Namun di balik kebaikan pasti ada kekurangan. Dibalik kepopulerannya itu, ia adalah pribadi yang malas. Pagi yang heboh ini adalah salah satu hasil karya kemalasannya. Dan perlu diingat juga, tak ada gading yang tak retak. Di balik kehidupannya yang tampak sempurna itu, ada sebuah lubang hitam menganga dalam kehidupan keluarga Rani. Sebuah lubang hitam yang terus berusaha menghisap Rani ke dalamnya meskipun ia terus berusaha mengelak darinya. Yang terus membuatnya teringat meskipun Rani berusaha sekuat tenaga untuk melupakannya. Yang terus muncul walau Rani telah menguburnya dalam-dalam. Yang ia bisa lakukan sekarang hanyalah hidup dalam kebohongan. Dengan berpura-pura hal itu tidak pernah terjadi.

♠♠♠

Mobil MPV Rani tiba di depan gerbang sebuah SMA negeri. Dengan seorang satpam yang menjaga gerbang tersebut. Celakanya bagi Rani, satpam tersebut hendak menutup pagar tersebut. Rani langsung meloncat dari mobil dan mengejar gerbang sebelum tertutup. Satpam berbadan kurus kerempeng dan bertampang sedikit konyol melihat ke arah Rani dan diiringi dengan sedikit senyum kemenangan.

BRAK!

Pintu gerbang tersebut tiba-tiba tidak mau bergerak. Satpam itu terus berusaha menariknya, namun gerbang tersebut tetap tidak mau bergerak. Satpam itu dengan wajah heran mencoba memeriksa penyebab gerbangnya tidak mau bergerak. Dan ia melihat sebuah batu yang cukup besar mengganjal engsel gerbang tersebut. Di sebelah gerbang tersebut berdiri 3 orang murid yang tampak sedang berusaha bertampang tanpa dosa. Dua cewek dan satu cowok.

“Makasih udah nungguin Rani, Pak.” Kata Rani sambil berlari menerobos gerbang yang tak mau tertutup.

“Walah, inyong dikerjain maning.” Kata satpam itu sambil menepuk keningnya. Rani beserta ketiga temannya memasuki halaman sekolah sambil tertawa.

Sebuah bangunan tua khas Belanda yang mendapatkan sedikit sentuhan modernistik. Kira-kira seperti itulah gambaran gedung sekolah ini secara luas. Atau lebih tepatnya, penghargaan terhadap masa lalu. Beberapa gedung tetap dibiarkan keadaannya seperti pada bentuknya di zaman dahulu. Hanya saja cat dan bagian interiornya telah banyak diperbaharui. Walaupun begitu, beberapa gedung baru telah ditambahkan menempel di sebelah gedung tua ini demi menambah kapasitas kelas sekolah.

Murid yang mendapatkan ruang kelas di gedung tua sudah tentu harus lebih bersyukur. Jarak antara lantai dengan langit-langitnya jauh melebihi jarak bangunan-bangunan baru zaman sekarang. Membuat udara di dalam kelas tersebut lebih dingin dalam musim kemarau yang panas. Membuat otak lebih bisa digunakan karena udara yang sejuk. Dan membuat para pemalas lebih cepat untuk tidur di kelas. Murid-murid yang beruntung mendapatkan kelas tersebut adalah keseluruhan kelas 12 dan sebagian kelas 11. Tentunya para guru berpikir untuk menyuport para murid kelas 12 salah satunya dari segi fasilitas untuk mendapatkan angka lulusan yang tinggi.

Rani dan ketiga kawannya adalah murid kelas 11 yang beruntung karena mendapatkan ruang kelas di gedung lama. Dibawah naungan langit-langit yang tinggi dan dihembusi angin pagi yang sejuk, kini mereka sedang menghadapi ulangan fisika yang paling tidak dikuasai Rani.

Rani berulang-ulang mengintip ke jendela besar yang berada di sebelah tempat duduknya dengan cemas. Memandang beberapa daun pisang yang berada di luar jendela. Seperti berharap terdapat rumus tentang gerak sentrifugal tertulis di daun pisang tersebut.

Tentu tidak. Rumus tidak akan tertulis di daun pisang. Tapi ia berada di bawah pohon pisang, lengkap beserta buku-buku yang memuat rumus yang dibutuhkan Rani untuk menjawab soal-soal ulangannya, dilengkapi seorang wanita yang memegangi buku-buku itu sambil celingukan takut ketahuan satpam.

“Bi Lila, halaman selanjutnya!” Bisik Rani.

♠♠♠

Matahari seakan tepat berada di atas ubun-ubun. Bayangan dedaunan rimbun dari pepohonan berumur lebih dari 50 tahun yang tumbuh di sekeliling jalan sekolah negeri Rani seakan melindungi apa yang berada di bawahnya dari sengatan matahari. Terlihat di seberang jalan dari sekolah seorang tukang es potong dengan giat mendagangkan barang dagangannya sambil teriak-teriak, melihat para murid sekolah tempat ia berjualan berhamburan pulang. Tukang penjual minuman yang biasa mangkal di taman sebelah sekolah bisa tersenyum puas karena banyak sekali yang membeli minumannya. Entah itu dari orang lewat yang kehausan, maupun murid sekolah yang tidak langsung pulang tetapi bermain bola di taman tersebut. Sedangkan Rani dan ketiga temannya sedang duduk di kantin sekolah yang berada di sebelah taman tempat anak-anak bermain bola.

Siang hari yang mungkin indah bagi sebagian orang itu datang jauh lebih lambat dari perkiraan Rani. 3 jam pelajaran Fisika tadi terasa bagaikan 3 hari baginya. Rani gagal total dalam mengerjakan ulangannya. Bi Lila yang menjadi harapannya satu-satunya ngibrit karena mendengar suara satpam mendatanginya. Tak berbeda dengan teman-teman Rani. Aris mengeluh karena hanya bisa mengerjakan 3 dari 10 soal. Dan Nive bisa 5. Berbeda dengan Erlin. Dari mereka berempat, Erlin lah yang paling pintar. Ia bagai mutiara di dalam lumpur. Bagai mawar di antara duri. Bagai perawan di sarang penyamun. Dia bisa mengerjakan semuanya.

“Gila abis tuh soal. Einstein aja rambutnya bisa jadi hitam lagi kalau dapat soal kayak begituan.” Kata Aris sambil mengacak-acak rambut rancungnya. Ia adalah satu-satunya cowok di antara teman ngumpul Rani di sekolah. Badannya tinggi tegap, rambutnya rancung, hidungnya tak kalah rancung dengan rambutnya, kulitnya putih dan lumayan ganteng. Tipe cowok metropolis. Namun apa yang berada di dalam kepalanya tidak sebaik apa yang membungkusnya. Meski menjadi laki-laki satu-satunya di antara mereka berempat, tetapi perlu diketahui bahwa Aris bukanlah seorang laki-laki kewanitaan. Ia adalah seorang laki-laki jantan yang cukup bisa diharapkan (kecuali dalam masalah pelajaran sekolah).

“Ran, kok tadi jawabannya stop gitu aja, sih?” Tanya Nive. Ia adalah cewek bertubuh paling besar di antara mereka berempat. Bahkan terkadang ada yang bilang mereka selalu berlima (Nive dihitung 2). Rambutnya sedikit ikal dan panjang. Kebiasaannya adalah mengikat buntut kuda pada rambutnya yang ikal. Meski tubuhnya besar, ia cukup manis jika diperhatikan. Pipinya chubby dan murah senyum. Matanya hitam khas orang Indonesia asli.

“Sori, Bi Lila nyaris ketahuan satpam tadi.” Jawab Rani dengan nada khas anak kecilnya.

“Lin, tadi kamu bisa nggak?” Tanya Aris.

Erlin hanya tersenyum. Untuk cewek yang satu ini, sangat sulit bagi makhluk planet Mars▬cowok untuk tidak meliriknya. Kulitnya putih bersih, matanya hitam kecoklatan berbinar menandakan tatapan penuh kasih sayang, bibirnya tipis kecil dan sering tersenyum. Berbeda dengan Aris, isi kepala Erlin imbang dengan apa yang membungkusnya. Ia pun tidak sombong dan baik kepada orang di sekitarnya. Juga selalu menjadi ranking pertama di kelas. Cewek yang nyaris sempurna. Nyaris...

“Elin mah jangan ditanya. Tadi aku lihat jawabannya 4 halaman full.” Kata Nive bete, “Mimpi gue bisa ngerjain sampai segitu.”

“Jangan gitu, Niv. Nggak ada yang mustahil, kok.” Kata Erlin.

“Udah jangan pada bete gara-gara ulangan, dong! Cari makan, yuk.” Ajak Aris, “Pake mobil gue, deh.”

“Asik!!! Cari steak yuk! Ayuk! Ayuk!” Rani antusias sambil teriak-teriak. Nyaris seluruh orang di kantin melihat ke arah mereka berempat.

“Sssstt... malu-maluin!” Kata Aris, “Lagian siapa yang ngajak kamu! Yang diajak Cuma Nive sama Erlin, kok.”

“ICH!!! ARIS!!! IKUT!! IKUT!!!” Rengek Rani sambil berteriak-teriak. Kali ini jauh lebih keras. Erlin dan Nive berusaha membekap mulut Rani. Kali ini, tak terkecuali satu orangpun, semua orang di kantin melihat ke arah mereka berempat.

“Dasar gordes! Gorowok desa!” Kata Aris malu.

Setelah mengevakuasi sumber keributan di kantin ke mobil Aris, berangkatlah mereka berempat. Akomodasi seperti ini biasanya ditanggung oleh Rani atau Aris. Tergantung mood, misalkan sedang ingin naik mobil Rani, Rani akan menelpon Pak Giman untuk menjemputnya sekaligus mengantarkan mereka berempat. Namun mereka lebih sering menaiki mobil sedan putih berplat nomor D 412 IS - Aris, mobil putih kesayangan Aris meskipun Aris terkadang marah-marah jika mereka mengotori mobilnya.

Sesampainya di sebuah resto café yang lumayan penuh, mereka memesan makanan yang mereka inginkan. Obrolan kembali menjadi seru di dalam café. Dan suasana kembali menjadi seru karena Rani kembali membuat mereka berempat menjadi pusat perhatian karena tingkah dan suaranya yang tidak mengenal volume kecil atau mute.

♠♠♠

Jam menunjukkan pukul 5 sore. Sinar matahari sore dan lembayung yang mulai keluar tampak menyinari sebuah rumah megah dengan pekarangan indah nan luas. Terdengar gemericik air terjun kecil di kolam ikan pada halaman tersebut. Suaranya menenangkan perasaan bagi siapa yang mau mendengarkannya dengan hati. Beberapa pohon pinus pun berdiri tegak di antara rerumputan hijau yang terawatt dengan baik di halaman tersebut. Dibatasi oleh sebuah pagar besar dan mewah dengan motif seperti ujung tombak pada bagian puncaknya.

Sebuah mobil sedan putih berhenti di depan pagar tersebut. Menurunkan seorang gadis mungil berseragam SMA yang tampak tak bisa diam.

“Aris, makasih ya... Mau masuk dulu nggak?” Kata Rani sambil loncat-loncat kecil di luar mobil.

“Nggak ah, udah sore, Ran.” Kata Erlin.

“Sabtu deh, aku main.” Kata Nive.

“Oke, gue cabut dulu ya. Salam buat ortu!” Kata Aris.

“Dadaaaaaaah...” Kata Rani sambil melambaikan tangannya dengan semangat. Dalam beberapa detik, sedan putih itu sudah meninggalkan Rani sendirian di depan rumahnya. Kesepian mulai mendera dirinya.

Rani membalikkan dirinya dan berjalan menuju pagar rumahnya. Membunyikan bel yang berada di balik tembok di seberang pagar. Bagi orang yang belum pernah berkunjung ke rumah ini, pasti membutuhkan waktu lebih dari seperempat jam karena kesulitan mencari letak bel yang agak tersembunyi itu.

DENGGG

Suara bel bergema dari dalam rumah dan terdengar sampai ke luar. Dalam beberapa detik, Mas Ikin keluar bertelanjang kaki sambil berlari-lari kecil dan senyam-senyum nggak jelas. “Non, mari masuk. Mari masuk...”

“Angg... Mas Ikin bau. Belum mandi pasti!” Kata Rani.

“Ah, nggak ah. Perasaan non aja kale.” Mas Ikin menyanggah sambil mencium kedua ketiaknya.

“Jorok!” Rani ngelonyor masuk, “Papa Mama mana, Mas?”

KRIEEEK

Suara pagar ditutup. Mas Ikin nyengir ke arah Rani, “Kayaknya pulang malem lagi, Non.”

“Oh...” Rani membuang muka dari Mas Ikin. Ia berjalan menuju rumah dengan langkah berat. Sori, Ris. Kayaknya salam kamu buat ortu gue gak bisa gue sampein hari ini. Pikirnya dalam hati. Inilah salah satu penyebab Rani malas pulang ke rumah. Orang tuanya selalu pergi lebih pagi-pagi sekali dan pulang larut malam. Sehingga jarang sekali ia bisa melihat wajah kedua orang tuanya.

Ia masuk ke ruang utama rumahnya. Memandang foto ia bersama keluarganya yang terpampang besar di dinding tengah. Hatinya tidak pernah tidak sakit jika memandang foto itu. Namun ia juga tidak bisa untuk tidak melihat foto itu tiap kali ia memasuki rumahnya. Selalu ada keinginan untuk melihat foto tersebut. Seorang pria setengah baya bermata sipit memakai jas dan kemeja putih berdiri di kiri atas foto tersebut. Ia adalah ayah Rani. Di sebelahnya seorang wanita mungil cantik memakai kebaya berwarna merah. Ia adalah Ibu Rani. Di barisan bawah paling kiri adalah Rani sendiri yang memakai kebaya merah menyerupai ibunya. Di sebelah Rani yang duduk di tengah adalah seorang anak laki-laki tembem dengan mengenakan jas kecil dan kaos sanghai. Matanya sipit dan kulitnya sawo matang. Ia adalah adik Rani. Di sebelahnya duduk dengan kedua tangannya berada di paha, tersenyum manis dan dewasa. Wajahnya menyerupai Rani dalam versi lebih dewasa dengan kebaya merah juga. Ia adalah kakak Rani.

Rani melangkah menuju kamarnya di lantai dua. Sebelum sampai di tangga menuju lantai dua, secara tak sengaja ia melihat ke arah ruang makan. Di sana duduk seorang anak laki-laki berkulit sawo matang. Dia adalah anak kecil di foto keluarga Rani. Dan dia adalah satu-satunya alas an mengapa Rani masih betah untuk tinggal di rumah.

“Mik, lagi apa?” Tanya Rani.

“Kakak... Miko lagi nunggu kakak.” Kata Miko. Ia turun dari tempat duduknya dan berlari ke arah Rani dan memeluknya. Rani membungkuk dan menyambutnya, “Kok baru pulang, Kak?”

“Iya, tadi main dulu sama temen.” Kata Rani, “Gimana tadi sekolahnya? Nakal ya kamu?”

“Nggak, Kak. Cuma tadi waktu si Rian maksa minjem pensil aku...”

“Iya?”

“Aku tonjok aja idungnya.” Kata Miko bersemangat menceritakannya sambil memeragakan bagaimana ia meluncurkan tonjokannya.

Rani terkekeh geli sekaligus ngeri membayangkan tingkah yang tadi adiknya lakukan pada temannya, “Nggak boleh gitu, dong. Nanti kalau ketahuan guru kamu bisa dimarahin.”

“Nggak kok. Gurunya juga udah tahu kalau aku anak baik-baik.”

Rani kembali geli. Anak baik-baik menonjok hidung temannya?

“Ko, kakak naik dulu ya. Kalau pengen makan ngomong aja ke Mas Ikin.” Kata Rani.

Miko mengangguk-angguk, “Nanti Miko bawain es teh deh, Kak.”

Rani tersenyum. Ia mengangkat tasnya dan menuju ke kamarnya. Es teh? Ya, itu adalah minuman satu-satunya yang bisa Miko buatkan selain air putih dan air es. Meski begitu, ia sangat menyayangi Rani. Miko cukup berbeda dengan Rani. Ia sangat rajin dan termasuk pintar di kelasnya. Ia juga orangnya lucu, sehingga teman-temannya biasa memanggilnya ‘Miko Mouse’. Ia juga tegar dan baik hati. Rela berkorban dan bersikukuh jika ia merasa benar.

“Kak...” Panggil Miko sat Rani nyaris sampai di lantai atas.

“Ya?”

“Kak Alexa udah telpon lagi belum dari Malaysia?”

Hati Rani mencelos. Ia terdiam sejenak, kemudian memaksakan sebuah senyuman. “Belum, nanti Kak Rani SMS dia, Ok?”

“Ok, Kak.”

Rani mempercepat jalannya menuju ke kamarnya. Ia menyusuri teras lantai 2 dan menuju pintu kamar berwarna putih. Ia membuka pintu tersebut. Saat di buka, bau harum lavender langsung tercium. Wewangian kesukaan Rani.

Rani cepat-cepat menutup pintu kamarnya dan langsung merebahkan dirinya di spring bed dengan bed cover pink nya. Jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba menarik nafasnya dalam-dalam dan menenangkan dirinya. Di hidupnya, Rani memang terkadang suka berbohong, namun kebohongan ini adalah kebohongannya yang paling menyakitkan.

Ia menatap dinding kamarnya yang berwarna pink dan putih sambil terus mencoba menenangkan dirinya. Setelah merasa sedikit tenang, ia duduk di depan meja belajar 2 tingkatnya yang berpadu antara warna pink dengan putih. Ia membuka laci bawah kiri dari lemari tersebut. Di dalam laci tersebut bertumpuk foto-foto, entahhanya fotonya maupun foto yang masih dengan bingkainya. Terkesan terburu-buru dimasukkan namun tatanannya cukup rapi. Rani sengaja menyimpan foto-foto tersebut sesuai dengan keadaan sebelumnya.

Cukup aneh untuk seorang gadis menyimpan foto teman perempuannya di laci. Namun foto-foto itu bukanlah foto-foto teman perempuannya, melainkah foto Alexa-kakaknya. Atau lebih pantas jika disebut, almarhum kakaknya.

Nyaris dua tahun sudah kepergian Alexa. Namun Rani sangat menyayangkan kenangan Alexa di rumah ini nyaris tak tertinggal sedikitpun. Kedua orang tuanya setuju untuk melupakan Alexa, atau paling tidak “mengesampingkan” segala urusan tentang Alexa demi Rani. Mereka berpendapat bahwa dengan melakukan hal ini, dapat membuat Rani menjadi gadis yang lebih kuat dan menerima kenyataan. Yah, selama ini Rani berhasil. Berhasil hidup dalam sebuah kebohongan. Ia sebenarnya sama sekali tidak bisa melupakan kakaknya.

Dulu kakaknya adalah tempat segala macam penumpahan emosinya. Jika sedang senang, ia bercerita pada Alexa. Jika sedang sedih, ia menangis pada Alexa. Bahkan jika sedang marah, ia memarahi Alexa. Namun Alexa yang Rani ingat hanya tersenyum kepadanya dan selalu membukakan mata Rani terhadap masalah yang sedang ia hadapi. Seberat apapun masalahnya. Ia tak pernah menawarkan sebuah jalan keluar dari masalah rani. Ia tak mau membuat adiknya menjadi lemah seperti itu. Alexa hanya menenangkan pikiran Rani dan membiarkan Rani mengambil keputusannya sendiri dan kemudian mendukung keputusan adiknya itu.

Bagi Rani, Alexa sudah mendapatkan bagian khusus dalam kehidupannya. Alexa lebih bernilai baginya dibandingkan kedua orang tuanya yang hanya bisa ia temui pada hari Sabtu dan Minggu jika mereka berdua tidak ada meeting tambahan ataupun rapat sebuah tender dalam bidang apapun. Alexa adalah kesempurnaan dalam hidup Rani.

Hanya karena sebuah penyakit bodoh bernama Leukimia-penyakit kanker darah putih dan sebuah kecelakaan yang sebenarnya tidak perlu yang disebabkan oleh ayahnya, kesempurnaan itu harus terenggut dari Rani. Kepergian kakaknya satu-satunya telah meninggalkan sebuah lubang besar dalam hatinya. Meninggalkan sebuah tempat yang tak bisa tergantikan oleh siapapun. Meninggalkan kebingungan pada diri Rani karena kehilangan satu-satunya orang yang ia percaya akan membimbingnya.

Rani belum berani dan tidak pernah berani untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya kepada Miko. Ia takut Miko akan shock dan berakibat buruk bagi perkembangan anak di usianya. Sehingga Rani dan kedua orang tuanya beserta seisi rumah setuju untuk mengarang cerita bahwa Alexa sedang sekolah Malaysia untuk menyembunyikan fakta dari Miko sampai sekiranya Miko bisa menerima apa yang sebenarnya telah terjadi.

Namun Rani tak sepenuhnya merasa benar akan tingkahnya ini. Setiap kali ia berbohong seperti barusan, jantungnya berdegup kencang. Ia seakan baru saja menelan sebuah belati bulat-bulat dan tersedak di leher. Pahit. Sakit. Namun sekarang Rani hanya bisa percaya bahwa inilah yang terbaik. Rani berjanji kepada Alexa untuk menjaga Miko walau apapun yang terjadi pada dirinya.

Beban hidup seorang remaja yang terkadang tidak dimengerti oleh orang lain di sekitarnya membuat seorang remaja membutuhkan seseorang di dekatnya yang ia percaya untuk bercerita. Namun Rani tak punya orang tersebut saat ini. Ia hanya punya foto orang yang ia percaya dengan dengan senyumnya yang dingin dan tidak akan membalas berbicara walau sekeras apapun Rani menjerit. Rani mengeluarkan foto Alexa dan memeluknya erat-erat.

Pembukaan Ramadhan

Sekarang kita telah memasuki hari pertama puasa dan hari pertama pada bulan Ramadhan.

Maafkan segala kesalahan FBM ya...

Semoga saya bisa terus menghibur anda semua melalui blog saya ini.

Oh, iya, memasuki bulan Ramadhan ini, saya telah memposting sebuah cerita yang lebih ke arah Teenlit dan pengerjaannya sedang dalam proses.

Happy Read

Sunday 31 August 2008

Bettalakron (1) - Bab 10

10

PR

Udara yang dingin terasa menusuk sampai ke tulang. Bangunan sekolah Fairren yang megah dilingkupi kegelapan malam yang sunyi. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Terdengar suara burung hantu yang sedang ber uhu-uhu di luar sekolah. Aldi tetap terjaga di tempat tidurnya. Ia mendapat kamar asrama sekamar dengan Rippu, Fonkav dan Jugis di sebuah kamar asrama berukuran cukup luas untuk memarkirkan kurang lebih 4 mobil sedan di dalamnya. Rippu yang sejak tadi terus bersin-bersin sampai setengah jam akhirnya bisa tertidur juga. Hidungnya sampai semerah buah tomat. Ternyata air kolam di taman tersebut berhasil membuatnya mengembalikan kata-katanya kepada Tauren.

Ruang asrama tersebut berada di lantai 4 dan 5 bangunan sekolah Fairren yang besar ini. Dan kamar-kamar asramanya pun sangat banyak. Aldi belum sempat menelusurinya sampai ke ujung-ujungnya karena harus merawat Rippu yang terserang pilek karena diceburkan oleh Felia tadi siang.

Menit demi menitpun berlalu. Tapi Aldi tetap tidak bisa menutup matanya. Ia masih memikirkan orang yang ada di foto koran Betta Berita yang dibaca Yuyi tadi di taman. Ia amat yakin pernah melihat orang tersebut. Tapi kapan? Di mana? Aldi yakin belum pernah mendengar namanya. Tapi yakin sudah pernah melihat muka orang itu.

15 menit kemudian, pemikiran Aldi belum juga membuahkan hasil. 20 menit... belum juga. Karena terlalu keras berpikir, pikiran Aldi jadi ngelantur ke mana-mana. Sekarang yang ia ingat malah saat ia berbelanja perlengkapan sekolahnya dengan Asgard di Hagleit. Ia menjadi ingat saat di jalan utama Hagleit yang penuh, Labu Romawi, gang-gang kecil dan saat ia bertabrakan dengan...

“BENAR!!!!” Aldi tak sengaja berteriak.

Rippu, Fonkav dan Jugis melonjak terbangun.

“Ada apaan, Di?” Tanya Fonkav.

“Benar katamu tadi?” Tanya Jugis.

“Eh... oh...” Aldi kebingungan. Merasa tak enak membuat kegaduhan saat mereka sedang menikmati tidurnya. “maksudku... enak benar kasur ini...”

Suasana menjadi hening. Aldi tahu ia baru saja mengeluarkan lelucon yang bisa membuat jangkerik berhenti berbunyi.

“Tampaknya kau kurang tidur...” Kata rippu sambil mengembalikan posisi selimutnya.

Fonkav dan Jugis melakukan hal yang sama dengan Rippu.

Aldi kembali menghela nafas tenang. Pikirannya kembali ke permasalahan wajah tadi. Wajah yang ia lihat di koran itu adalah pemuda yang ia tabrak di gang kecil di kota Hagleit. Pemuda yang sengaja menutupi seluruh wajahnya dengan kerudung dari mantelnya tak ingin ada orang lain yang melihatnya. setelah ingat, rasa ngantuk Aldi mulai merebak. Rasa penasarannya terbayar sudah. Dan tidak sampai dua menit Aldi sudah terlelap di kasurnya.

***

“Aldi, bangun kau!!”

Aldi terbangun oleh suara tersebut. Aldi membuka matanya. Ternyata Rippu membangunkannya.

“Ada apa?” Tanya Aldi yang setengah sadar.

“Ada apa Bapakmu?! Kau harus bangun jam segini. Kalau tidak, kau akan telat untuk sekolah.”

“Hah?!” Aldi terlonjak dari kasurnya dan segera bersiap-siap. Aldi melihat jam, ternyata sudah jam 5.20. walaupun pelajaran dimulai jam 6, mereka sudah harus ada di aula untuk sarapan terlebih dahulu. Aldi cepat-cepat bersiap untuk mandi. Tapi... “Kamar mandinya di mana?”

“Tiap kamar memiliki satu kamar mandi. Sekarang lagi kosong. Fonkav dan Jugis sudah selesai mandi dari tadi. Sekarang giliranmu.” Kata Rippu sambil menunjukkan sebuah pintu kecil di sebelah tempat tidur Fonkav.

Aldi meloncat dari kasurnya dan mengambil handuk berwarna krem yang sudah agak kusam pemberian dari Asgard. Dan mengambil baju seragamnya yang ia gantung di dekat kasurnya. Dan kemudian segera menuju kamar mandi.

***

“Apa? Kau pernah bertemu dengan Frio? Dan ia sempat menabrakmu?” Kata Rippu kaget setelah mendengar cerita Aldi saat ia menabrak Frio lizzi, pemuda yang mencuri batu Brimstone itu.

Aldi mengangguk. Ia mengambil sosis panggang dan nasi goreng yang ada di hadapannya.

“Lalu kau apakan?” Tanya Rippu dengan sangat antusias.

“Tidak aku apa-apakan. Aku waktu itu belum tahu kalau dia sedang dicari.”

“Apa yang sedang ia lakukan di sana?” Tanya Yuyi yang baru saja mendatangi mereka berdua. Kemudian ia mengambil tempat duduk di sebelah Aldi dan mengambil sebuah piring kecil dan mengoleskan selai pada beberapa roti panggang yang ada di piringnya.

“Mana kutahu. Ia cepat-cepat pergi setelah menabrakku.”

“Oh ya... sebentar lagi pelajaran fisik kelas Bayangan akan dimulai. Aku tak boleh makan terlalu banyak.” Kata Rippu yang menyadari bahwa dirinya terlalu banyak makan pada saat yang tidak terpat.

Fisik kelas Bayangan? Ini yang sedikit Aldi takuti sejak memasuki sekolah ini. Yaitu ia takut perbedaan fisik yang terlalu jauh sehingga membuatnya terlihat memalukan sebagai laki-laki.

“Apa yang perempuan juga ikut latihan?” Tanya Aldi.

“Tentu.” Kata Rippu dengan pasti.

Hati Aldi mencelos.

“Dan jatah latihannya sama dengan kita.”

***

Setelah berjalan melalui gerbang utara kota Wimblam (arahnya berlawanan dengan arah menuju rumah Asgard) para anak-anak keals Bayangan tingkat 1 sampai di hutan Pinus Hijau bagian utara. Di sana sudah disiapkan beberapa tenda besar yang terdapat lambang Fairren di bagian atap tendanya. Terdapat beberapa bekas api unggun di sela-sela halaman kosong di antara tenda-tendanya.

Aldi menjadi penasaran pelajaran seperti apalagi yang akan ia pelajari sekarang. Seorang laki-laki kekar berwajah tegas keluar dari salah satu tenda tersbeut. Rambutnya rancung di bagian tengahnya. Ia tidak seperti guru yang lainnya yang selalu memakai mantel guru Fairren. Hanya memakai kaos biru khas kelas Bayangan yang seperti Aldi dan teman-temannya pakai.

“Pagi semuanya.” Kata guru itu tegas.

“Pagi, Pak!” Jawab semua anak kelas Bayangan serempak.

Guru itu melihat ke arah Aldi. “Ada murid baru rupanya. Kenalkan, aku Gribs Darkfell. Siapa namamu?”

“Aldi, Pak. Aldi Rian Alfaris.” Jawab Aldi.

Pak Gribs diam sejenak. Kemudian perhatiannya teralih kembali pada semua anak-anak kelas Bayangan. “Seperti biasa, kita akan lari lintas alam.”

Beberapa anak menghembuskan nafas berat yang secara tak langsung menyatakan bahwa mereka malas mengerjakan tugas ini.

“Kepada siapapun yang tidak mau ikut, aku tidak memaksa.” Tambah Pak Gribs. Kali ini nadanya lebih kejam dan memaksa. “Lakukan pemanasan ringan sebelum kita lari. Kuberi waktu 10 menit.” Pak Gribs kembali masuk ke dalam tenda.

“Ayo, Di. Lakukan pemanasan. Ini sangat kita butuhkan. Bisa mati kita kalau tidak pemanasan dulu.” Ajak Rippu kepada Aldi. Entah mengapa, sejak alid membela Rippu di taman kemarin, hubungan mereka berdua menjadi semakin erat.

Aldi melakukan pemanasan mengikuti gerakan Rippu. Mulai dari gerakan menarik tangan sampai melemaskan kaki.

Tepat setelah Aldi selesai melemaskan pergelangan kakinya, Pak Gribs keluar dari tendanya. “Baiklah. Semuanya, ikuti aku.” Ia berlari menuju ke dalam hutan.

Para anak-anak kelas Bayangan lainnya mengikuti jejaknya.

“Kita mau apa?” Tanya Aldi.

“Lintas alam. Berlari keliling-keliling hutan sini. Kelihatannya ringan. Tapi kita lihat saja nanti.” Rippu meringis sambil menggerakkan telunjuknya mengitari lehernya.

Setelah berlari 10 menit, mereka mulai mencapai daerah yang mulai jarang pepohonannya. Dan digantikan oleh tebing-tebing. Jalanan di hutan yang tidak rata membuat Aldi cepat lelah. Keringatnya bercucuran banyak sekali. Tetapi saat Aldi melihat anak-anak lainnya, mereka masih tampak segar. Seperti belum melakukan apapun. Aldi mulai khawatir kalau fisiknya jauh berada di bawah mereka semua.

Lari berganti menjadi mendaki. Tebing-tebing yang terjal berdiri dengan angkuh di hadapan mereka semua. Beberapa anak kelas Bayangan banyak yang gagal mendakinya. Rippu ternyata memiliki daya lompat yang luar biasa. Ia melompat nyaris setinggi 3 meter dan dengan mudah menaklukan tebing yang curam. Belum lagi Pak Gribs yang sepertinya bisa melompat 4,5 meter tingginya. Sekarang ia sedang menunggu para muridnya di atas tebing sambil menyilangkan kedua lengannya di dadanya.

Aldi mencoba mencengkeram batu di depannya, namun ternyata rapuh. Kemudian ia mencoba batu yang lainnya. Setelah mendapat pegangan, Aldi mencoba menarik badannya naik. Dan berhasil. Nafasnya amat memburu. Ia tak menyangka separah ini latihan kelas Bayangan. Ia melihat ke atas dan ternyata teman-temannya sudah jauh meninggalkannya. Bahkan Marfiar yang bertubuh kurus kering dan berbadan tinggi itupun sudah tak terlihat oleh Aldi. Aldi mencoba meneruskan pendakiannya. Sampai di tengah perjalanan, kepalanya amat pusing seperti mau pecah. Pikirannya mulai tak terfokus dan pegangannya mulai melemah. Keinginannya untuk mendaki lagi tak tersampaikan pada otot-otot di lengannya. Dan tiba-tiba, tubuhnya seakan tak mau lagi diperintah.

***

Teriakan-teriakan putus asa terdengar di sana-sini. Rumah-rumah banyak yang terbakar. Mayat-mayat bergelimpangan di sana-sini. Isakan tangis terdengar sangat keras dan jelas. Teriakan orang tersiksa merajalela. Ratusan Deef terlihat sedang menyerbu para manusia yang menduduki kota tersebut. Beberapa manusia yang cukup berani melawan mereka. Namun tak membuahkan hasil.

Terlihat seorang ibu yang berjalan tergopoh-gopoh sambil menggendong anaknya yang masih bayi dalam gendongannya. Ia tersandung batu yang tak ia lihat. Badannya ambruk punggung duluan karena ia bersikeras melindungi anaknya. Seekor Deef berdiri di depannya siap mengayunkan gadanya pada ibu itu. Deef itu tertawa dan mengayunkan gadanya.

KYAAAAAAAAAAAAAAAAA

Aldi terlonjak. Badannya dipenuhi keringat dingin. Teriakan ibu tersebut seperti jam beker yang membangunkannya. Badannya masih kejang-kejang dan rasa shock karena melihat sebuah pemandangan yang amat mengerikan merajai tubuhnya. Darahnya serasa berhenti mengalir.

Ia menyeka wajahnya dan mencoba kembali fokus. Aldi melihat sekitarnya. Sebuah ruangan tenda berwarna hijau terlihat olehnya. Ia terbaring di sebuah tempat tidur pendek di dalam ruangan tersebut.walaupun lebih mirip dinamai tandu yang diberi bantal dan selimut. Mencoba mengingat kembali mengapa ia bisa berada di sini.

“Bangun juga kau akhirnya.” Seorang gadis memakai mantel guru Fairren hanya saja motifnya agak berbeda. Ada lambang daun hijau yang tesemat di bagian dada yang biasanya tidak tersemat di mantel guru Fairren lainnya. Wajah gadis itu kusut dan suram. Bibirnya kecil dan matanya terlihat lesu. Bintik-bintik hitam kecil memenuhi sebagian pipinya.

“Di mana ini?” Tanya Aldi.

“Ruang Pertolongan. Kau pingsan saat ikut mendaki bersama anak-anak kelas Bayangan lainnya.” Jawab gadis itu.

Aldi ingat kembali. Saat ia mendaki, ia tak kuat lagi dan kemudian pingsan.

“Seorang laki-laki berambut panjang mengantarkanmu kemari. Riju kalau tak salah namanya.”

“Oh... Rippu ya?” Kata Aldi membetulkan. Sekarang badannya terasa agak lemas. Ia melihat kedua telapak tangannya yang banyak perbannya. “Oh, ya. Boleh kutahu siapa nama... anda?”

“Aku Meda.” Jawab gadis itu pendek. “Dan jangan bilang kalau aku ini kampungan.”

Aldi mengerutkan keningnya. “Kampungan?”

“Aku memang berasal dari desa terpencil. Tapi bukan berarti kau bisa melecehkanku begitu saja!” Nada bicara Meda terdengar lebih menekan.

“Maaf?” Aldi kaget. Meda tiba-tiba marah tanpa sebab. “Apa saya menyinggung anda?”

“Hampir semua orang yang bertemu denganku menganggapku kampungan. Mungkin kau juga salah satunya.”

Ada apa dengan gadis yang satu ini? Apakah hal yang menyebabkan gadis ini begitu sebal dengan orang lain? Apakah sebuah kejadian yang amat membuat dirinya kesal? Ataukah salah satu saraf di otaknya bergeser sehingga alam pikirannya berbeda dengan manusia biasa?

“Maaf...” Kata Aldi dengan nada agak keras. “Saya sama sekali tidak mengatakan dan sama sekali tidak ingin menyinggung anda. Tapi bila saya salah berbicara, maafkan saya.”

Suasana hening sebentar, dan kemudian Meda memberanikan diri membuka mulutnya. “Siapa namamu, Nak?”

“Aldi.” Aldi menjawab. Ia sedikit canggung dipanggl Nak oleh orang yang tampaknya tidak begitu berbeda jauh usianya dengan dirinya.

“Aldi. Baru sekarang aku melihat orang sepertimu. Kau baik. Apakah kau mau menerima kehadiran orang seperti aku?”

Gadis ini sepertinya sudah amat parah sekali. Seperti terjadi depresi berat pada mentalnya. Seperti orang yang sudah lama dilecehkan orang lain. Jika Aldi lebih lama lagi di Bumi, Aldi yakin akan menjadi seperti gadis ini.

“Tentu. Oh, ya. Boleh tahu sekarang jam berapa dan apa yang sedang anak-anak kelas Bayangan sekarang?”

“Jam 12. mereka sepertinya sedang makan siang di aula. Kau mau menyusul mereka?”

“Kalau boleh.” Aldi nyengir.

“Baiklah. Setelah kupastikan keadaanmu baik-baik saja.”

***

“Hahaha... kau dipuji Bu Meda?” Rippu tertawa setelah mendengar cerita Aldi tentang Bu Meda yang amat perasa itu. Aldi bersyukur Rippu dan Yuyi tidak menyinggung-nyinggung tentang pingsannya barusan.

“Jangan tertawa kau.” Kata Aldi. Ia buru-buru menghabiskan makanannya. Waktu istirahatnya sekarang tinggal 5 menit lagi. “Dia tiba-tiba begitu tanpa sebab. Kukira aku telah menyinggungnya.”

“Maafkan dia. Dia memang seperti itu.” Kata Yuyi yang berada di sebelah Aldi sambil memperhatikan Aldi makan.

“Memangnya...” Aldi hampir tersedak nasi gorengnya. “Maaf... Memangnya apa saja yang pernah orang-orang lakukan kepadanya sampai dia separah itu?”

Yuyi menghela nafasnya dalam-dalam. “Kasihan dia. Dia dulu datang dari salah satu desa terpencil di Bettalakron ini. Walaupun kemampuan merawatnya hebat. Orang-orang kebanyakan tidak mau mengakuinya karena ia adalah orang desa. Ia sering diejek-ejek di sana-sini.”

“Pokoknya ramai deh kalau mengejeknya dia, Di. Pernah waktu itu ia nangis sampai meraung-raung di dalam WC setelah Fonkav menjahilinya dengan ular mainan.” Tambah Rippu. Yuyi langsung menyikutnya.

“Jangan begitu. Bagaimana jika kau ada di posisinya?” Kata Yuyi. Rippu nyengir kuda. Aldi setuju dengan Yuyi. Karena ia juga pernah diperlakukan seperti itu juga dulu. Mungkin lebih parah dari itu. Paling tidak tak pernah ada yang mempermainkannya dengan ular mainan.

TENG TENG

Bel berbunyi. Menandakan semua murid harus mengikuti 2 pelajaran terakhir hari ini. Aldi terlonjak. Ia baru makan sedikit.

“Aku duluan ya. Aldi makan yang banyak ya.” Kata Yuyi melompat dan mengikuti barisan anak-anak kelas Penyihir lainnya yang sedang menuju pintu keluar aula.

“Di... cepetan dong makannya. Lelet amat sih kamu!!!” Rippu mulai gelisah.

“Sabar... sabar. sedikit lagi. Memang sekarang pelajaran apaan sih?” Aldi cepat-cepat menghabiskan telur dadarnya.

“Pelajaran Taktik Perang.”

KLONTANG

Sendok yang Aldi pegang terjatuh dari tangannya.

***

“Jadi... kau murid baru, sudah berani membuat masalah lagi ya setelah kemarin kau nyaris kuberi hukuman?” Pak Qiamut sedang mengospek Aldi dan Rippu setelah pelajaran Taktik Perang selesai gara-gara mereka berdua telat 15 menit gara-gara Aldi yang menghabiskan makanannya terlebih dahulu. Kini mereka berdua tidak boleh keluar dari ruangan Strategi. Tak peduli walaupun mereka masih harus mengikuti satu pelajaran lagi. “Dan ini, satu lagi. Ingin ikut-ikutan temanmu ini ya?!”

“Tidak, Pak.” Jawab Rippu.

“SIAPA SURUH KAU MENJAWAB, Miks?” Raung Pak Qiamut.

Rippu langsung diam. Tangan Rippu mengepal kuat. Seakan wajah Pak Qiamut sedang berada dalam genggamannya.

“Pak, kami harus mengikuti pelajaran selanjutnya.” Kata Aldi.

“Itu urusan kalian. Sekarang kalian berhadapan denganku. Qiamut Perves.” Pak Qiamut mengacungkan telunjuknya ke dahi Aldi. “Supaya kalian jera, kalian kuberi PR tambahan. Buatkan 10 buah taktik perang yang cocok saat kita berperang di daerah pegunungan. Lengkap dengan formasinya.”

Rippu mangap lebar-lebar. Aldi yang belum lama di sinipun tahu bahwa ini pasti akan menjadi PR yang tidak biasa. Dan pasti akan lama sekali untuk mengerjakannya jika melihat ekspresi di muka Rippu.

***

“Kau gila?! Ini semua adalah PR yang tidak akan cukup untuk dikerjakan selama 1 minggu. 2 malahan.” Kata Rippu setelah menceritakan semuanya pada Yuyi. Dan kemudian Yuyi berkata ini adalah PR yang mungkin untuk dikerjakan.

“Kau saja yang malas. Lihatlah Aldi, walaupun ia masih baru, tapi ia tak ngedumel walau diberi PR sebanyak itu.” Jawab Yuyi.

“Diakan masih baru. Jadi belum tahu dong, PR membuat taktik perang itu bagaimana repotnya.” Rippu ngotot.

“Ya sudah. Nanti malam kalian tunggu di perpustakaan. Aku janji akan membantu kalian mengerjakannya.” Kata Yuyi.

Rippu terkekeh. “Nah, gitu dong. Aku nunggu kamu bilang gitu, Yuyi sayang...”

“Bisa kubatalkan tawaranku?” Kata Yuyi setelah mendengar kata “SAYANG”

“Eh, nggak, nggak. Jangan marah dong. Kan aku Cuma bercanda.”

“Aku bersedia mengerjakan punyamu, Rip. Gara-gara aku kau jadi dihukum.” Kata Aldi.

“Bicara apa kau? Itu normal lagi. Pak Qiamut memang selalu seperti itu kepada semua murid kelas Bayangan.” Jawab Rippu santai. Ia kemudian melirik ke arah Yuyi.

“Ingat ya...” Kata Yuyi menyadari arti dari pandangan aneh penuh makna dari Rippu. “Aku hanya membantu tugasmu. Bukan mengerjakan tugasmu.”

***

Malam hari telah tiba dengan cepatnya. Rippu sebenarnya sudah malas sekali untuk pergi ke perpustakaan. Namun ia merasa tak enak karena Yuyi sudah mau membantunya mengerjakan PR nya. Begitu juga dengan Aldi. Matanya serasa berat sekali untuk dibuka. Ingin rasanya cepat-cepat tidur. Badannya serasa lebih lemas setelah ia pingsan tadi pagi.

Mereka ingin mengerjakan di lain waktu. Toh masih ada waktu 6 hari lagi. Namun Yuyi pasti bisa marah besar begitu mendengar alasan seperti itu.

Rippu dan Aldi berjalan menuju perpustakaan setelah menyiapkan apa yang sekiranya mereka butuhkan nanti. Makanan kecil, obat melek “NYONYA FARTEL”, dan juga kertas polos lebar untuk melukiskan peta taktiknya. Mereka menuruni tangga menuju lantai 2 dan diteruskan dengan tangga menuju lantai 1. Lorong-lorong Fairren tampak lowong dan suram. Hanya beberapa lilin saja yang menerangi lorong-lorong yang mereka lalui yang ditempelkan di dinding-dinding batu.

Di tengah jalan, suara-suara ribut mulai didengar oleh Aldi. Aldi memberhentikan langkahnya. “SSSTTTTT”

“Ada apa, Di?” Tanya Rippu.

“Kau dengar sesuatu?” Aldi bertanya balik.

Rippu menggelengkan kepalanya.

“Masa? Sebegitu ributnya?” Kata Aldi. Aldi mendengar keributan seperti... seperti dalam mimpinya. Keributan orang-orang yang sedang dibantai dan berteriak meminta tolong. Bulu kuduk Aldi langsung berdiri.

“Tidak. Mungkin telingamu harus diperiksa.”

Aldi tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ia menjadi takut dalam hatinya. Aldi mulai gelisah. Ia menutupi telinganya. Namun suara itu terus terdengar. “WAAAAAA...”

“Atau mungkin jiwamu.” Kata Rippu. “Jangan teriak-teriak seperti itu. Kau bisa menggegerkan seisi sekolah. Dan juga kau membuatku takut.”

“KYAAAAAAAAAAA...” Terdengar teriakan Ibu dalam mimpi Aldi lagi. Dan suara-suara itupun berakhir. Aldi menarik nafas berat sekaligus lega.

“Ada apa ini, sobat?” Tanya Rippu khawatir sambil membantu Aldi untuk berdiri kembali.

“Suara itu... mirip sekali dengan yang ada di mimpi. Mimpiku tadi sewaktu aku pingsan.” Kata Aldi. Ia masih sedikit shock.

“Mimpi apa kau? Ceritakan padaku selengkap-lengkapnya.”

Aldi menceritakan isi seluruh mimpinya sambil berjalan menuju perpustakaan sesuai rencana mereka berdua sebelumnya. Sekarang mereka sudah sampai di ruang tengah yang ada gantungan lilin yang besar di tengah ruangannya.

“Apa kau gila? Jika ini benar, maka kau berarti adalah seorang Foluer Mimpi.” Kata Rippu kaget setelah mendengar cerita Aldi tentang mimpinya. Dahi Aldi berkerut mendengar nama yang aneh lagi. “Kau tidak tahu Foluer Mimpi lagi? Itu tuh... orang yang bisa melihat masa depan melalui mimpinya. Jika mimpimu benar, berarti kau adalah Foluer Mimpi.”

“Semoga.” Kata Aldi. Tapi mengingat betapa seramnya mimpinya itu... “Aku harap tidak benar.”

Mereka berdua masuk ke aula dan menuju pintu menuju ruang perpustakaan. Aula sekarang kosong walaupun cukup terang karena diterangi lilin-lilin. Bintang-bintang terlihat di atas langit dari langit-langit ruang aula yang tembus pandang. Saat di depan pintu perpustakaan...

BRAK

Pintu tiba-tiba terbuka dan menghantam Aldi. Aldi jatuh terjerembab. Seorang gadis manis berambut panjang keluar dari sana.

“Maaf. Kukira tidak ada orang.” Kata Yuyi. ia menggenggam tangan Aldi untuk membantunya bangun. Pada saat yang bersamaan, Moti melewati mereka bertiga.

“Aha... nenek sihir. Apa yang kau lakukan pada Aldi?” Kata Moti yang melihat Yuyi menggenggam tangan Aldi.

Yuyi langsung melepaskan genggaman tangannya. Aldi yang belum sempat bediri terjatuh kembali.

“Kyaaaa... Aldi.” Moti cepat-cepat menolong Aldi yang terjatuh. “Apa yang kau lakukan?!! Kau bisa mencelakai Aldi!!”

“Tolonglah jika kau mau, kutu buku.” Kata Yuyi. baru kali ini Aldi melihat Yuyi bersifat seperti ini.

“Nenek sihir! Pergi dari sini sebelum aku melemparimu dengan potion lada api.” Bentak Rippu.

“Baik. Memang itu mauku. Daripada berdekatan dengan anak kecil yang terlalu terobsesi dengan ilmu pasti.” Balas Yuyi.

“Hyaaaa jangan... Prku bagaimana?” Kata Rippu pelan.

Yuyi melangkah pergi dengan cepat menuju pintu keluar aula.

“PR? Sama si nenek sihir?” Kata Moti.

“Kau... Prku bisa gagal dan aku bisa dibunuh oleh Pak Qiamut.” Kata Rippu kesal.

“Tenang... tenang... di sini ada Moti yang siap membantu kalian. PR apa sih ngomong-ngomong?” Tanya Moti. Rippu sudah tidak bisa berbicara apa-apa lagi.

“PR spesial hukuman dari Pak Qiamut.” Kata Rippu.

“Kalau begitu, yuk kita kerjakan.” Ajak Moti.

“Asik.” Rippu mengikuti Moti ke dalam perpustakaan.

“Hei, bagaimana dengan Yuyi?” Tanya Aldi.

“Sudahlah. Dia memang kadang suka begitu kalau sama Moti.”

“Memang mereka berdua kenapa, sih?”

“Nanti akan kuceritakan kalau tidak ada satupun dari mereka berdua. Ok?” Rippu mengedipkan matanya. Aldi nyengir kuda.

***

Tak disangka Moti sangat pintar sekali. Ia tahu hal-hal tentang ilmu alam dan ilmu perang. Taktik-taktik yang ia beritahukan kepada Aldi dan Rippu sangat bagus. Begitu kata Rippu. Karena Aldi tidak tahu menahu tentang taktik perang. Moti pun hafal isi beberapa buku pelajaran. Sehingga sangat mudah untuk mengerjakan PR bersamanya. Walaupun ada yang berbeda kalau bersama dengan Moti dibandingkan dengan Yuyi.

Beberapa kali Moti menempel-nempel sama Aldi. Dan Rippu menanyakan apakah Moti adalah pacar Aldi. Aldi mentah-mentah menolak tuduhan itu.

“Bukan gitu, Di... gambar gunungnya ada di sebelah sini. Lalu bla...bla...” Kata Moti sambil membetulkan pegangan pensil Aldi dan sekalian menggenggam tangan Aldi. Aldi hanya bisa diam saja.

Rippu mengerjakan PR nya dengan mencontek hasil Aldi yang telah diajarkan oleh Moti. Walaupun tidak begitu kelihatan, namun tampaknya Rippu pun merasakan ada yang berbeda jika tidak dengan Yuyi. namun Rippu tetap asik mengerjakan Prnya.

BRUK

Setumpuk buku dijatuhkan di depan meja Aldi, Moti dan Rippu. Seorang anak gendut berwajah ceria menaruh setumpuk buku di situ. Kemudian ia menarik kursi dan duduk.

“Nefa?! Kau masih suka disuruh mengerjakan PR oleh mereka?!” Kata Rippu kepada anak gendut itu.

Anak itu mengangguk. Nafasnya agak tersengal-sengal karena kecapaian mengangkat buku.

“Bagaimana kau ini. Jangan mau dipermankan oleh mereka terus. Merekalah yang keenakan jika seperti ini terus.” Kata Rippu kesal.

“Akan kuadukan kepada ayahku. Supaya kau bisa terbebas dari gencetan mereka.” Tambah Moti.

“Jangan...” Kata Nefa. Suaranya berat dan polos.

“Kenapa?”

“Aku takut... nanti mereka bisa menghabisiku...” Jawab Nefa. Ternyata nyali anak itu tak sebesar badannya.

“Oh, ya, Fa... kenalkan ini murid baru yang sering dibicarakan itu. Namanya Aldi. Di, ini Nefa Prupus. Dari kelas Prajurit tingkat 1.” Kata Rippu memperkenalkan.

Aldi menjabat tangan Nefa.

“Nasibnya parah. Ia ditindas oleh Geng Fairren Flunk. Kau tahukan? Gengnya Tauren dan kawan-kawan. Setiap ada PR, mereka selalu menyuruh dia. Dan jika mereka sedang kesal, tak jarang mereka memukulinya.” Jelas Rippu. Aldi bisa mengerti perasaan anak ini. Karena iapun begitu saat di Bumi.

“Tabahlah. Semua pasti akan berakhir.” Kata Aldi menghibur.

“Nggg... Ramuan Reol?! Apaan tuh?” Kata Nefa sambil membaca buku PR milik Alessandra D. “Celaka... aku sama sekali nggak ngerti tentang ramuan.”

“Itu ramuan untuk bahan dasar pembuatan potion peledak. Kau bisa membuatnya dari campuran akar jahe dan sungut semut.” Jawab Moti.

Jam 9.30 pas dan PR mereka berdua tinggal selembar lagi. Namun rasa ngantuk lebih menguasai diri mereka. Motipun begitu. Ia sudah tidak kuat untuk membuka matanya. Maka mereka sudahi saja kegiatan belajar bersama mereka ini. Dan kembali menuju kamar mereka masing-masing. Nefa tertidur di mejanya. Walaupun ingin membanugnkannya, namun ini lebih sulit dari yang mereka kira. Mencoba membangunkan Nefa nyaris sama sulitnya dengan menyuruh Asgard untuk memasak tidak gosong. Aldi dan Rippu mengucapkan selamat berpisah pada Moti dan pergi menuju kamar mereka.

Sesampainya di kamar, Aldi dan Rippu langsung merebahkan diri mereka di ranjang. Jugis sudah terlelap. Namun Fonkav masih terjaga. Ia sedang membersihkan pisaunya dengan kain putih.

“Bagaimana, selesai tugasnya?” Tanya Fonkav.

“Sedikit lagi. Santai sajalah.” Jawab Rippu setengah sadar.

“Haha... siapa suruh telat pada jam pelajaran Pak Qiamut?”

“Ya maaf.” Jawab Aldi.

Tak sempat mengobrol lagi, Aldi dan Rippu sudah terlelap tidur. Fonkav menggelengkan kepalanya.

“Maaf... tak kuat ngobrol lagi...” Kata Rippu.

***

Setelah pelajaran Ramuan oleh Pak Narvias, kelas untuk hari ini selesai. (Hari ini tidak ada pelajaran fisik kelas Bayangan dan Aldi amat mensyukuri itu.) Aldi dan Rippu cepat-cepat mencari Yuyi karena mereka mengkhawatirkannya sejak ia berkelahi dengan Moti semalam.

“Kau janji akan menceritakan penyebab perkelahian mereka yang parah itu. Bagaimana ceritanya?” Tanya Aldi.

“Wew. Masalahnya sih sepele. Kau tahukan mereka berdua itu pintar-pintar. Yang satu tidak mau kalah dari yang lain.” Kata Rippu. Mereka berdua berebelok di lorong depan.

“Ya. Itu hal yang biasa. Lalu?”

“Nah, Yuyi itu senang mempelajari semua pelajaran kelas lain. Kecuali Tabib. Ia tidak suka dengan yang namanya ilmu pasti. Ia yakin akan keberadaan ilmu lain dan makhluk halus yang berada di sekitar kita.” Rippu menghela nafas. “Sedangkan Moti, ia sangat pintar dalam bidang ilmu Tabib dan ilmu Kehidupan. Ia sangat tidak mempercayai segala hal yang di luar akal sehat. Keberadaan Mesiah misalnya.”

Aldi hanya mengangguk-angguk saja. Entah apa yang namanya Mesiah itu.

“Dan kuyakin Mesiah itu ada.” Terdengar suara seorang gadis dari belakang mereka berdua.

“Yuyi?!” Kata Rippu kaget. “Kau mau membuat jantungku copot?!”

“Mesiah adalah makhluk halus berkerudung dan memiliki sayap seperti kelelawar. Ia hidup di daerah pegunungan tinggi dan konon katanya mereka menyembunyikan sesuatu yang besar yang tidak diketahui oleh manusia. Sebuah rahasia yang amat sakral” Kata Yuyi. Aldi melihat sisi lain dari Yuyi kali ini. Yuyi yang biasanya tampak anggun kini sedikit terlihat arogan.

“Ya... ya... ya.” Kata Rippu malas. “Apa kau masih marah?”

“Jangan bercanda?! Aku tidak marah pada kalian. Memangnya kalian salah apa?” Tanya Yuyi. Nada bicaranya sudah kembali seperti semula. Ini pertanda ia sudah menjadi Yuyi yang mereka kenal.

Aldi tersenyum kepada Rippu. Begitu juga sebaliknya.

“Kenapa? Kalian mikirin aku ya?” Kata Yuyi tersenyum nakal.

“Idih... amit-amit.” Kata Rippu.

“Mungkin...” Kata Aldi sambil mengangkat bahu.

“Waduh... GOSIP BARU!!!!” Teriak Rippu. “Si anak baru punya kecengan...” Rippu ngakak. Aldi mencekik Rippu. Aldi yakin mukanya memerah. Dan tentunya mereka semua menjadi pusat perhatian oleh orang-orang yang berada di lorong itu. Dan tanpa disadari, senyum kecil menghiasi wajah Yuyi.