10
PR
Udara yang dingin terasa menusuk sampai ke tulang. Bangunan sekolah Fairren yang megah dilingkupi kegelapan malam yang sunyi. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Terdengar suara burung hantu yang sedang ber uhu-uhu di luar sekolah. Aldi tetap terjaga di tempat tidurnya. Ia mendapat kamar asrama sekamar dengan Rippu, Fonkav dan Jugis di sebuah kamar asrama berukuran cukup luas untuk memarkirkan kurang lebih 4 mobil sedan di dalamnya. Rippu yang sejak tadi terus bersin-bersin sampai setengah jam akhirnya bisa tertidur juga. Hidungnya sampai semerah buah tomat. Ternyata air kolam di taman tersebut berhasil membuatnya mengembalikan kata-katanya kepada Tauren.
Ruang asrama tersebut berada di lantai 4 dan 5 bangunan sekolah Fairren yang besar ini. Dan kamar-kamar asramanya pun sangat banyak. Aldi belum sempat menelusurinya sampai ke ujung-ujungnya karena harus merawat Rippu yang terserang pilek karena diceburkan oleh Felia tadi siang.
Menit demi menitpun berlalu. Tapi Aldi tetap tidak bisa menutup matanya. Ia masih memikirkan orang yang ada di foto koran Betta Berita yang dibaca Yuyi tadi di taman. Ia amat yakin pernah melihat orang tersebut. Tapi kapan? Di mana? Aldi yakin belum pernah mendengar namanya. Tapi yakin sudah pernah melihat muka orang itu.
15 menit kemudian, pemikiran Aldi belum juga membuahkan hasil. 20 menit... belum juga. Karena terlalu keras berpikir, pikiran Aldi jadi ngelantur ke mana-mana. Sekarang yang ia ingat malah saat ia berbelanja perlengkapan sekolahnya dengan Asgard di Hagleit. Ia menjadi ingat saat di jalan utama Hagleit yang penuh, Labu Romawi, gang-gang kecil dan saat ia bertabrakan dengan...
“BENAR!!!!” Aldi tak sengaja berteriak.
Rippu, Fonkav dan Jugis melonjak terbangun.
“Ada apaan, Di?” Tanya Fonkav.
“Benar katamu tadi?” Tanya Jugis.
“Eh... oh...” Aldi kebingungan. Merasa tak enak membuat kegaduhan saat mereka sedang menikmati tidurnya. “maksudku... enak benar kasur ini...”
Suasana menjadi hening. Aldi tahu ia baru saja mengeluarkan lelucon yang bisa membuat jangkerik berhenti berbunyi.
“Tampaknya kau kurang tidur...” Kata rippu sambil mengembalikan posisi selimutnya.
Fonkav dan Jugis melakukan hal yang sama dengan Rippu.
Aldi kembali menghela nafas tenang. Pikirannya kembali ke permasalahan wajah tadi. Wajah yang ia lihat di koran itu adalah pemuda yang ia tabrak di gang kecil di kota Hagleit. Pemuda yang sengaja menutupi seluruh wajahnya dengan kerudung dari mantelnya tak ingin ada orang lain yang melihatnya. setelah ingat, rasa ngantuk Aldi mulai merebak. Rasa penasarannya terbayar sudah. Dan tidak sampai dua menit Aldi sudah terlelap di kasurnya.
***
“Aldi, bangun kau!!”
Aldi terbangun oleh suara tersebut. Aldi membuka matanya. Ternyata Rippu membangunkannya.
“Ada apa?” Tanya Aldi yang setengah sadar.
“Ada apa Bapakmu?! Kau harus bangun jam segini. Kalau tidak, kau akan telat untuk sekolah.”
“Hah?!” Aldi terlonjak dari kasurnya dan segera bersiap-siap. Aldi melihat jam, ternyata sudah jam 5.20. walaupun pelajaran dimulai jam 6, mereka sudah harus ada di aula untuk sarapan terlebih dahulu. Aldi cepat-cepat bersiap untuk mandi. Tapi... “Kamar mandinya di mana?”
“Tiap kamar memiliki satu kamar mandi. Sekarang lagi kosong. Fonkav dan Jugis sudah selesai mandi dari tadi. Sekarang giliranmu.” Kata Rippu sambil menunjukkan sebuah pintu kecil di sebelah tempat tidur Fonkav.
Aldi meloncat dari kasurnya dan mengambil handuk berwarna krem yang sudah agak kusam pemberian dari Asgard. Dan mengambil baju seragamnya yang ia gantung di dekat kasurnya. Dan kemudian segera menuju kamar mandi.
***
“Apa? Kau pernah bertemu dengan Frio? Dan ia sempat menabrakmu?” Kata Rippu kaget setelah mendengar cerita Aldi saat ia menabrak Frio lizzi, pemuda yang mencuri batu Brimstone itu.
Aldi mengangguk. Ia mengambil sosis panggang dan nasi goreng yang ada di hadapannya.
“Lalu kau apakan?” Tanya Rippu dengan sangat antusias.
“Tidak aku apa-apakan. Aku waktu itu belum tahu kalau dia sedang dicari.”
“Apa yang sedang ia lakukan di sana?” Tanya Yuyi yang baru saja mendatangi mereka berdua. Kemudian ia mengambil tempat duduk di sebelah Aldi dan mengambil sebuah piring kecil dan mengoleskan selai pada beberapa roti panggang yang ada di piringnya.
“Mana kutahu. Ia cepat-cepat pergi setelah menabrakku.”
“Oh ya... sebentar lagi pelajaran fisik kelas Bayangan akan dimulai. Aku tak boleh makan terlalu banyak.” Kata Rippu yang menyadari bahwa dirinya terlalu banyak makan pada saat yang tidak terpat.
Fisik kelas Bayangan? Ini yang sedikit Aldi takuti sejak memasuki sekolah ini. Yaitu ia takut perbedaan fisik yang terlalu jauh sehingga membuatnya terlihat memalukan sebagai laki-laki.
“Apa yang perempuan juga ikut latihan?” Tanya Aldi.
“Tentu.” Kata Rippu dengan pasti.
Hati Aldi mencelos.
“Dan jatah latihannya sama dengan kita.”
***
Setelah berjalan melalui gerbang utara kota Wimblam (arahnya berlawanan dengan arah menuju rumah Asgard) para anak-anak keals Bayangan tingkat 1 sampai di hutan Pinus Hijau bagian utara. Di sana sudah disiapkan beberapa tenda besar yang terdapat lambang Fairren di bagian atap tendanya. Terdapat beberapa bekas api unggun di sela-sela halaman kosong di antara tenda-tendanya.
Aldi menjadi penasaran pelajaran seperti apalagi yang akan ia pelajari sekarang. Seorang laki-laki kekar berwajah tegas keluar dari salah satu tenda tersbeut. Rambutnya rancung di bagian tengahnya. Ia tidak seperti guru yang lainnya yang selalu memakai mantel guru Fairren. Hanya memakai kaos biru khas kelas Bayangan yang seperti Aldi dan teman-temannya pakai.
“Pagi semuanya.” Kata guru itu tegas.
“Pagi, Pak!” Jawab semua anak kelas Bayangan serempak.
Guru itu melihat ke arah Aldi. “Ada murid baru rupanya. Kenalkan, aku Gribs Darkfell. Siapa namamu?”
“Aldi, Pak. Aldi Rian Alfaris.” Jawab Aldi.
Pak Gribs diam sejenak. Kemudian perhatiannya teralih kembali pada semua anak-anak kelas Bayangan. “Seperti biasa, kita akan lari lintas alam.”
Beberapa anak menghembuskan nafas berat yang secara tak langsung menyatakan bahwa mereka malas mengerjakan tugas ini.
“Kepada siapapun yang tidak mau ikut, aku tidak memaksa.” Tambah Pak Gribs. Kali ini nadanya lebih kejam dan memaksa. “Lakukan pemanasan ringan sebelum kita lari. Kuberi waktu 10 menit.” Pak Gribs kembali masuk ke dalam tenda.
“Ayo, Di. Lakukan pemanasan. Ini sangat kita butuhkan. Bisa mati kita kalau tidak pemanasan dulu.” Ajak Rippu kepada Aldi. Entah mengapa, sejak alid membela Rippu di taman kemarin, hubungan mereka berdua menjadi semakin erat.
Aldi melakukan pemanasan mengikuti gerakan Rippu. Mulai dari gerakan menarik tangan sampai melemaskan kaki.
Tepat setelah Aldi selesai melemaskan pergelangan kakinya, Pak Gribs keluar dari tendanya. “Baiklah. Semuanya, ikuti aku.” Ia berlari menuju ke dalam hutan.
Para anak-anak kelas Bayangan lainnya mengikuti jejaknya.
“Kita mau apa?” Tanya Aldi.
“Lintas alam. Berlari keliling-keliling hutan sini. Kelihatannya ringan. Tapi kita lihat saja nanti.” Rippu meringis sambil menggerakkan telunjuknya mengitari lehernya.
Setelah berlari 10 menit, mereka mulai mencapai daerah yang mulai jarang pepohonannya. Dan digantikan oleh tebing-tebing. Jalanan di hutan yang tidak rata membuat Aldi cepat lelah. Keringatnya bercucuran banyak sekali. Tetapi saat Aldi melihat anak-anak lainnya, mereka masih tampak segar. Seperti belum melakukan apapun. Aldi mulai khawatir kalau fisiknya jauh berada di bawah mereka semua.
Lari berganti menjadi mendaki. Tebing-tebing yang terjal berdiri dengan angkuh di hadapan mereka semua. Beberapa anak kelas Bayangan banyak yang gagal mendakinya. Rippu ternyata memiliki daya lompat yang luar biasa. Ia melompat nyaris setinggi 3 meter dan dengan mudah menaklukan tebing yang curam. Belum lagi Pak Gribs yang sepertinya bisa melompat 4,5 meter tingginya. Sekarang ia sedang menunggu para muridnya di atas tebing sambil menyilangkan kedua lengannya di dadanya.
Aldi mencoba mencengkeram batu di depannya, namun ternyata rapuh. Kemudian ia mencoba batu yang lainnya. Setelah mendapat pegangan, Aldi mencoba menarik badannya naik. Dan berhasil. Nafasnya amat memburu. Ia tak menyangka separah ini latihan kelas Bayangan. Ia melihat ke atas dan ternyata teman-temannya sudah jauh meninggalkannya. Bahkan Marfiar yang bertubuh kurus kering dan berbadan tinggi itupun sudah tak terlihat oleh Aldi. Aldi mencoba meneruskan pendakiannya. Sampai di tengah perjalanan, kepalanya amat pusing seperti mau pecah. Pikirannya mulai tak terfokus dan pegangannya mulai melemah. Keinginannya untuk mendaki lagi tak tersampaikan pada otot-otot di lengannya. Dan tiba-tiba, tubuhnya seakan tak mau lagi diperintah.
***
Teriakan-teriakan putus asa terdengar di sana-sini. Rumah-rumah banyak yang terbakar. Mayat-mayat bergelimpangan di sana-sini. Isakan tangis terdengar sangat keras dan jelas. Teriakan orang tersiksa merajalela. Ratusan Deef terlihat sedang menyerbu para manusia yang menduduki kota tersebut. Beberapa manusia yang cukup berani melawan mereka. Namun tak membuahkan hasil.
Terlihat seorang ibu yang berjalan tergopoh-gopoh sambil menggendong anaknya yang masih bayi dalam gendongannya. Ia tersandung batu yang tak ia lihat. Badannya ambruk punggung duluan karena ia bersikeras melindungi anaknya. Seekor Deef berdiri di depannya siap mengayunkan gadanya pada ibu itu. Deef itu tertawa dan mengayunkan gadanya.
KYAAAAAAAAAAAAAAAAA
Aldi terlonjak. Badannya dipenuhi keringat dingin. Teriakan ibu tersebut seperti jam beker yang membangunkannya. Badannya masih kejang-kejang dan rasa shock karena melihat sebuah pemandangan yang amat mengerikan merajai tubuhnya. Darahnya serasa berhenti mengalir.
Ia menyeka wajahnya dan mencoba kembali fokus. Aldi melihat sekitarnya. Sebuah ruangan tenda berwarna hijau terlihat olehnya. Ia terbaring di sebuah tempat tidur pendek di dalam ruangan tersebut.walaupun lebih mirip dinamai tandu yang diberi bantal dan selimut. Mencoba mengingat kembali mengapa ia bisa berada di sini.
“Bangun juga kau akhirnya.” Seorang gadis memakai mantel guru Fairren hanya saja motifnya agak berbeda. Ada lambang daun hijau yang tesemat di bagian dada yang biasanya tidak tersemat di mantel guru Fairren lainnya. Wajah gadis itu kusut dan suram. Bibirnya kecil dan matanya terlihat lesu. Bintik-bintik hitam kecil memenuhi sebagian pipinya.
“Di mana ini?” Tanya Aldi.
“Ruang Pertolongan. Kau pingsan saat ikut mendaki bersama anak-anak kelas Bayangan lainnya.” Jawab gadis itu.
Aldi ingat kembali. Saat ia mendaki, ia tak kuat lagi dan kemudian pingsan.
“Seorang laki-laki berambut panjang mengantarkanmu kemari. Riju kalau tak salah namanya.”
“Oh... Rippu ya?” Kata Aldi membetulkan. Sekarang badannya terasa agak lemas. Ia melihat kedua telapak tangannya yang banyak perbannya. “Oh, ya. Boleh kutahu siapa nama... anda?”
“Aku Meda.” Jawab gadis itu pendek. “Dan jangan bilang kalau aku ini kampungan.”
Aldi mengerutkan keningnya. “Kampungan?”
“Aku memang berasal dari desa terpencil. Tapi bukan berarti kau bisa melecehkanku begitu saja!” Nada bicara Meda terdengar lebih menekan.
“Maaf?” Aldi kaget. Meda tiba-tiba marah tanpa sebab. “Apa saya menyinggung anda?”
“Hampir semua orang yang bertemu denganku menganggapku kampungan. Mungkin kau juga salah satunya.”
Ada apa dengan gadis yang satu ini? Apakah hal yang menyebabkan gadis ini begitu sebal dengan orang lain? Apakah sebuah kejadian yang amat membuat dirinya kesal? Ataukah salah satu saraf di otaknya bergeser sehingga alam pikirannya berbeda dengan manusia biasa?
“Maaf...” Kata Aldi dengan nada agak keras. “Saya sama sekali tidak mengatakan dan sama sekali tidak ingin menyinggung anda. Tapi bila saya salah berbicara, maafkan saya.”
Suasana hening sebentar, dan kemudian Meda memberanikan diri membuka mulutnya. “Siapa namamu, Nak?”
“Aldi.” Aldi menjawab. Ia sedikit canggung dipanggl Nak oleh orang yang tampaknya tidak begitu berbeda jauh usianya dengan dirinya.
“Aldi. Baru sekarang aku melihat orang sepertimu. Kau baik. Apakah kau mau menerima kehadiran orang seperti aku?”
Gadis ini sepertinya sudah amat parah sekali. Seperti terjadi depresi berat pada mentalnya. Seperti orang yang sudah lama dilecehkan orang lain. Jika Aldi lebih lama lagi di Bumi, Aldi yakin akan menjadi seperti gadis ini.
“Tentu. Oh, ya. Boleh tahu sekarang jam berapa dan apa yang sedang anak-anak kelas Bayangan sekarang?”
“Jam 12. mereka sepertinya sedang makan siang di aula. Kau mau menyusul mereka?”
“Kalau boleh.” Aldi nyengir.
“Baiklah. Setelah kupastikan keadaanmu baik-baik saja.”
***
“Hahaha... kau dipuji Bu Meda?” Rippu tertawa setelah mendengar cerita Aldi tentang Bu Meda yang amat perasa itu. Aldi bersyukur Rippu dan Yuyi tidak menyinggung-nyinggung tentang pingsannya barusan.
“Jangan tertawa kau.” Kata Aldi. Ia buru-buru menghabiskan makanannya. Waktu istirahatnya sekarang tinggal 5 menit lagi. “Dia tiba-tiba begitu tanpa sebab. Kukira aku telah menyinggungnya.”
“Maafkan dia. Dia memang seperti itu.” Kata Yuyi yang berada di sebelah Aldi sambil memperhatikan Aldi makan.
“Memangnya...” Aldi hampir tersedak nasi gorengnya. “Maaf... Memangnya apa saja yang pernah orang-orang lakukan kepadanya sampai dia separah itu?”
Yuyi menghela nafasnya dalam-dalam. “Kasihan dia. Dia dulu datang dari salah satu desa terpencil di Bettalakron ini. Walaupun kemampuan merawatnya hebat. Orang-orang kebanyakan tidak mau mengakuinya karena ia adalah orang desa. Ia sering diejek-ejek di sana-sini.”
“Pokoknya ramai deh kalau mengejeknya dia, Di. Pernah waktu itu ia nangis sampai meraung-raung di dalam WC setelah Fonkav menjahilinya dengan ular mainan.” Tambah Rippu. Yuyi langsung menyikutnya.
“Jangan begitu. Bagaimana jika kau ada di posisinya?” Kata Yuyi. Rippu nyengir kuda. Aldi setuju dengan Yuyi. Karena ia juga pernah diperlakukan seperti itu juga dulu. Mungkin lebih parah dari itu. Paling tidak tak pernah ada yang mempermainkannya dengan ular mainan.
TENG TENG
Bel berbunyi. Menandakan semua murid harus mengikuti 2 pelajaran terakhir hari ini. Aldi terlonjak. Ia baru makan sedikit.
“Aku duluan ya. Aldi makan yang banyak ya.” Kata Yuyi melompat dan mengikuti barisan anak-anak kelas Penyihir lainnya yang sedang menuju pintu keluar aula.
“Di... cepetan dong makannya. Lelet amat sih kamu!!!” Rippu mulai gelisah.
“Sabar... sabar. sedikit lagi. Memang sekarang pelajaran apaan sih?” Aldi cepat-cepat menghabiskan telur dadarnya.
“Pelajaran Taktik Perang.”
KLONTANG
Sendok yang Aldi pegang terjatuh dari tangannya.
***
“Jadi... kau murid baru, sudah berani membuat masalah lagi ya setelah kemarin kau nyaris kuberi hukuman?” Pak Qiamut sedang mengospek Aldi dan Rippu setelah pelajaran Taktik Perang selesai gara-gara mereka berdua telat 15 menit gara-gara Aldi yang menghabiskan makanannya terlebih dahulu. Kini mereka berdua tidak boleh keluar dari ruangan Strategi. Tak peduli walaupun mereka masih harus mengikuti satu pelajaran lagi. “Dan ini, satu lagi. Ingin ikut-ikutan temanmu ini ya?!”
“Tidak, Pak.” Jawab Rippu.
“SIAPA SURUH KAU MENJAWAB, Miks?” Raung Pak Qiamut.
Rippu langsung diam. Tangan Rippu mengepal kuat. Seakan wajah Pak Qiamut sedang berada dalam genggamannya.
“Pak, kami harus mengikuti pelajaran selanjutnya.” Kata Aldi.
“Itu urusan kalian. Sekarang kalian berhadapan denganku. Qiamut Perves.” Pak Qiamut mengacungkan telunjuknya ke dahi Aldi. “Supaya kalian jera, kalian kuberi PR tambahan. Buatkan 10 buah taktik perang yang cocok saat kita berperang di daerah pegunungan. Lengkap dengan formasinya.”
Rippu mangap lebar-lebar. Aldi yang belum lama di sinipun tahu bahwa ini pasti akan menjadi PR yang tidak biasa. Dan pasti akan lama sekali untuk mengerjakannya jika melihat ekspresi di muka Rippu.
***
“Kau gila?! Ini semua adalah PR yang tidak akan cukup untuk dikerjakan selama 1 minggu. 2 malahan.” Kata Rippu setelah menceritakan semuanya pada Yuyi. Dan kemudian Yuyi berkata ini adalah PR yang mungkin untuk dikerjakan.
“Kau saja yang malas. Lihatlah Aldi, walaupun ia masih baru, tapi ia tak ngedumel walau diberi PR sebanyak itu.” Jawab Yuyi.
“Diakan masih baru. Jadi belum tahu dong, PR membuat taktik perang itu bagaimana repotnya.” Rippu ngotot.
“Ya sudah. Nanti malam kalian tunggu di perpustakaan. Aku janji akan membantu kalian mengerjakannya.” Kata Yuyi.
Rippu terkekeh. “Nah, gitu dong. Aku nunggu kamu bilang gitu, Yuyi sayang...”
“Bisa kubatalkan tawaranku?” Kata Yuyi setelah mendengar kata “SAYANG”
“Eh, nggak, nggak. Jangan marah dong. Kan aku Cuma bercanda.”
“Aku bersedia mengerjakan punyamu, Rip. Gara-gara aku kau jadi dihukum.” Kata Aldi.
“Bicara apa kau? Itu normal lagi. Pak Qiamut memang selalu seperti itu kepada semua murid kelas Bayangan.” Jawab Rippu santai. Ia kemudian melirik ke arah Yuyi.
“Ingat ya...” Kata Yuyi menyadari arti dari pandangan aneh penuh makna dari Rippu. “Aku hanya membantu tugasmu. Bukan mengerjakan tugasmu.”
***
Malam hari telah tiba dengan cepatnya. Rippu sebenarnya sudah malas sekali untuk pergi ke perpustakaan. Namun ia merasa tak enak karena Yuyi sudah mau membantunya mengerjakan PR nya. Begitu juga dengan Aldi. Matanya serasa berat sekali untuk dibuka. Ingin rasanya cepat-cepat tidur. Badannya serasa lebih lemas setelah ia pingsan tadi pagi.
Mereka ingin mengerjakan di lain waktu. Toh masih ada waktu 6 hari lagi. Namun Yuyi pasti bisa marah besar begitu mendengar alasan seperti itu.
Rippu dan Aldi berjalan menuju perpustakaan setelah menyiapkan apa yang sekiranya mereka butuhkan nanti. Makanan kecil, obat melek “NYONYA FARTEL”, dan juga kertas polos lebar untuk melukiskan peta taktiknya. Mereka menuruni tangga menuju lantai 2 dan diteruskan dengan tangga menuju lantai 1. Lorong-lorong Fairren tampak lowong dan suram. Hanya beberapa lilin saja yang menerangi lorong-lorong yang mereka lalui yang ditempelkan di dinding-dinding batu.
Di tengah jalan, suara-suara ribut mulai didengar oleh Aldi. Aldi memberhentikan langkahnya. “SSSTTTTT”
“Ada apa, Di?” Tanya Rippu.
“Kau dengar sesuatu?” Aldi bertanya balik.
Rippu menggelengkan kepalanya.
“Masa? Sebegitu ributnya?” Kata Aldi. Aldi mendengar keributan seperti... seperti dalam mimpinya. Keributan orang-orang yang sedang dibantai dan berteriak meminta tolong. Bulu kuduk Aldi langsung berdiri.
“Tidak. Mungkin telingamu harus diperiksa.”
Aldi tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ia menjadi takut dalam hatinya. Aldi mulai gelisah. Ia menutupi telinganya. Namun suara itu terus terdengar. “WAAAAAA...”
“Atau mungkin jiwamu.” Kata Rippu. “Jangan teriak-teriak seperti itu. Kau bisa menggegerkan seisi sekolah. Dan juga kau membuatku takut.”
“KYAAAAAAAAAAA...” Terdengar teriakan Ibu dalam mimpi Aldi lagi. Dan suara-suara itupun berakhir. Aldi menarik nafas berat sekaligus lega.
“Ada apa ini, sobat?” Tanya Rippu khawatir sambil membantu Aldi untuk berdiri kembali.
“Suara itu... mirip sekali dengan yang ada di mimpi. Mimpiku tadi sewaktu aku pingsan.” Kata Aldi. Ia masih sedikit shock.
“Mimpi apa kau? Ceritakan padaku selengkap-lengkapnya.”
Aldi menceritakan isi seluruh mimpinya sambil berjalan menuju perpustakaan sesuai rencana mereka berdua sebelumnya. Sekarang mereka sudah sampai di ruang tengah yang ada gantungan lilin yang besar di tengah ruangannya.
“Apa kau gila? Jika ini benar, maka kau berarti adalah seorang Foluer Mimpi.” Kata Rippu kaget setelah mendengar cerita Aldi tentang mimpinya. Dahi Aldi berkerut mendengar nama yang aneh lagi. “Kau tidak tahu Foluer Mimpi lagi? Itu tuh... orang yang bisa melihat masa depan melalui mimpinya. Jika mimpimu benar, berarti kau adalah Foluer Mimpi.”
“Semoga.” Kata Aldi. Tapi mengingat betapa seramnya mimpinya itu... “Aku harap tidak benar.”
Mereka berdua masuk ke aula dan menuju pintu menuju ruang perpustakaan. Aula sekarang kosong walaupun cukup terang karena diterangi lilin-lilin. Bintang-bintang terlihat di atas langit dari langit-langit ruang aula yang tembus pandang. Saat di depan pintu perpustakaan...
BRAK
Pintu tiba-tiba terbuka dan menghantam Aldi. Aldi jatuh terjerembab. Seorang gadis manis berambut panjang keluar dari sana.
“Maaf. Kukira tidak ada orang.” Kata Yuyi. ia menggenggam tangan Aldi untuk membantunya bangun. Pada saat yang bersamaan, Moti melewati mereka bertiga.
“Aha... nenek sihir. Apa yang kau lakukan pada Aldi?” Kata Moti yang melihat Yuyi menggenggam tangan Aldi.
Yuyi langsung melepaskan genggaman tangannya. Aldi yang belum sempat bediri terjatuh kembali.
“Kyaaaa... Aldi.” Moti cepat-cepat menolong Aldi yang terjatuh. “Apa yang kau lakukan?!! Kau bisa mencelakai Aldi!!”
“Tolonglah jika kau mau, kutu buku.” Kata Yuyi. baru kali ini Aldi melihat Yuyi bersifat seperti ini.
“Nenek sihir! Pergi dari sini sebelum aku melemparimu dengan potion lada api.” Bentak Rippu.
“Baik. Memang itu mauku. Daripada berdekatan dengan anak kecil yang terlalu terobsesi dengan ilmu pasti.” Balas Yuyi.
“Hyaaaa jangan... Prku bagaimana?” Kata Rippu pelan.
Yuyi melangkah pergi dengan cepat menuju pintu keluar aula.
“PR? Sama si nenek sihir?” Kata Moti.
“Kau... Prku bisa gagal dan aku bisa dibunuh oleh Pak Qiamut.” Kata Rippu kesal.
“Tenang... tenang... di sini ada Moti yang siap membantu kalian. PR apa sih ngomong-ngomong?” Tanya Moti. Rippu sudah tidak bisa berbicara apa-apa lagi.
“PR spesial hukuman dari Pak Qiamut.” Kata Rippu.
“Kalau begitu, yuk kita kerjakan.” Ajak Moti.
“Asik.” Rippu mengikuti Moti ke dalam perpustakaan.
“Hei, bagaimana dengan Yuyi?” Tanya Aldi.
“Sudahlah. Dia memang kadang suka begitu kalau sama Moti.”
“Memang mereka berdua kenapa, sih?”
“Nanti akan kuceritakan kalau tidak ada satupun dari mereka berdua. Ok?” Rippu mengedipkan matanya. Aldi nyengir kuda.
***
Tak disangka Moti sangat pintar sekali. Ia tahu hal-hal tentang ilmu alam dan ilmu perang. Taktik-taktik yang ia beritahukan kepada Aldi dan Rippu sangat bagus. Begitu kata Rippu. Karena Aldi tidak tahu menahu tentang taktik perang. Moti pun hafal isi beberapa buku pelajaran. Sehingga sangat mudah untuk mengerjakan PR bersamanya. Walaupun ada yang berbeda kalau bersama dengan Moti dibandingkan dengan Yuyi.
Beberapa kali Moti menempel-nempel sama Aldi. Dan Rippu menanyakan apakah Moti adalah pacar Aldi. Aldi mentah-mentah menolak tuduhan itu.
“Bukan gitu, Di... gambar gunungnya ada di sebelah sini. Lalu bla...bla...” Kata Moti sambil membetulkan pegangan pensil Aldi dan sekalian menggenggam tangan Aldi. Aldi hanya bisa diam saja.
Rippu mengerjakan PR nya dengan mencontek hasil Aldi yang telah diajarkan oleh Moti. Walaupun tidak begitu kelihatan, namun tampaknya Rippu pun merasakan ada yang berbeda jika tidak dengan Yuyi. namun Rippu tetap asik mengerjakan Prnya.
BRUK
Setumpuk buku dijatuhkan di depan meja Aldi, Moti dan Rippu. Seorang anak gendut berwajah ceria menaruh setumpuk buku di situ. Kemudian ia menarik kursi dan duduk.
“Nefa?! Kau masih suka disuruh mengerjakan PR oleh mereka?!” Kata Rippu kepada anak gendut itu.
Anak itu mengangguk. Nafasnya agak tersengal-sengal karena kecapaian mengangkat buku.
“Bagaimana kau ini. Jangan mau dipermankan oleh mereka terus. Merekalah yang keenakan jika seperti ini terus.” Kata Rippu kesal.
“Akan kuadukan kepada ayahku. Supaya kau bisa terbebas dari gencetan mereka.” Tambah Moti.
“Jangan...” Kata Nefa. Suaranya berat dan polos.
“Kenapa?”
“Aku takut... nanti mereka bisa menghabisiku...” Jawab Nefa. Ternyata nyali anak itu tak sebesar badannya.
“Oh, ya, Fa... kenalkan ini murid baru yang sering dibicarakan itu. Namanya Aldi. Di, ini Nefa Prupus. Dari kelas Prajurit tingkat 1.” Kata Rippu memperkenalkan.
Aldi menjabat tangan Nefa.
“Nasibnya parah. Ia ditindas oleh Geng Fairren Flunk. Kau tahukan? Gengnya Tauren dan kawan-kawan. Setiap ada PR, mereka selalu menyuruh dia. Dan jika mereka sedang kesal, tak jarang mereka memukulinya.” Jelas Rippu. Aldi bisa mengerti perasaan anak ini. Karena iapun begitu saat di Bumi.
“Tabahlah. Semua pasti akan berakhir.” Kata Aldi menghibur.
“Nggg... Ramuan Reol?! Apaan tuh?” Kata Nefa sambil membaca buku PR milik Alessandra D. “Celaka... aku sama sekali nggak ngerti tentang ramuan.”
“Itu ramuan untuk bahan dasar pembuatan potion peledak. Kau bisa membuatnya dari campuran akar jahe dan sungut semut.” Jawab Moti.
Jam 9.30 pas dan PR mereka berdua tinggal selembar lagi. Namun rasa ngantuk lebih menguasai diri mereka. Motipun begitu. Ia sudah tidak kuat untuk membuka matanya. Maka mereka sudahi saja kegiatan belajar bersama mereka ini. Dan kembali menuju kamar mereka masing-masing. Nefa tertidur di mejanya. Walaupun ingin membanugnkannya, namun ini lebih sulit dari yang mereka kira. Mencoba membangunkan Nefa nyaris sama sulitnya dengan menyuruh Asgard untuk memasak tidak gosong. Aldi dan Rippu mengucapkan selamat berpisah pada Moti dan pergi menuju kamar mereka.
Sesampainya di kamar, Aldi dan Rippu langsung merebahkan diri mereka di ranjang. Jugis sudah terlelap. Namun Fonkav masih terjaga. Ia sedang membersihkan pisaunya dengan kain putih.
“Bagaimana, selesai tugasnya?” Tanya Fonkav.
“Sedikit lagi. Santai sajalah.” Jawab Rippu setengah sadar.
“Haha... siapa suruh telat pada jam pelajaran Pak Qiamut?”
“Ya maaf.” Jawab Aldi.
Tak sempat mengobrol lagi, Aldi dan Rippu sudah terlelap tidur. Fonkav menggelengkan kepalanya.
“Maaf... tak kuat ngobrol lagi...” Kata Rippu.
***
Setelah pelajaran Ramuan oleh Pak Narvias, kelas untuk hari ini selesai. (Hari ini tidak ada pelajaran fisik kelas Bayangan dan Aldi amat mensyukuri itu.) Aldi dan Rippu cepat-cepat mencari Yuyi karena mereka mengkhawatirkannya sejak ia berkelahi dengan Moti semalam.
“Kau janji akan menceritakan penyebab perkelahian mereka yang parah itu. Bagaimana ceritanya?” Tanya Aldi.
“Wew. Masalahnya sih sepele. Kau tahukan mereka berdua itu pintar-pintar. Yang satu tidak mau kalah dari yang lain.” Kata Rippu. Mereka berdua berebelok di lorong depan.
“Ya. Itu hal yang biasa. Lalu?”
“Nah, Yuyi itu senang mempelajari semua pelajaran kelas lain. Kecuali Tabib. Ia tidak suka dengan yang namanya ilmu pasti. Ia yakin akan keberadaan ilmu lain dan makhluk halus yang berada di sekitar kita.” Rippu menghela nafas. “Sedangkan Moti, ia sangat pintar dalam bidang ilmu Tabib dan ilmu Kehidupan. Ia sangat tidak mempercayai segala hal yang di luar akal sehat. Keberadaan Mesiah misalnya.”
Aldi hanya mengangguk-angguk saja. Entah apa yang namanya Mesiah itu.
“Dan kuyakin Mesiah itu ada.” Terdengar suara seorang gadis dari belakang mereka berdua.
“Yuyi?!” Kata Rippu kaget. “Kau mau membuat jantungku copot?!”
“Mesiah adalah makhluk halus berkerudung dan memiliki sayap seperti kelelawar. Ia hidup di daerah pegunungan tinggi dan konon katanya mereka menyembunyikan sesuatu yang besar yang tidak diketahui oleh manusia. Sebuah rahasia yang amat sakral” Kata Yuyi. Aldi melihat sisi lain dari Yuyi kali ini. Yuyi yang biasanya tampak anggun kini sedikit terlihat arogan.
“Ya... ya... ya.” Kata Rippu malas. “Apa kau masih marah?”
“Jangan bercanda?! Aku tidak marah pada kalian. Memangnya kalian salah apa?” Tanya Yuyi. Nada bicaranya sudah kembali seperti semula. Ini pertanda ia sudah menjadi Yuyi yang mereka kenal.
Aldi tersenyum kepada Rippu. Begitu juga sebaliknya.
“Kenapa? Kalian mikirin aku ya?” Kata Yuyi tersenyum nakal.
“Idih... amit-amit.” Kata Rippu.
“Mungkin...” Kata Aldi sambil mengangkat bahu.
“Waduh... GOSIP BARU!!!!” Teriak Rippu. “Si anak baru punya kecengan...” Rippu ngakak. Aldi mencekik Rippu. Aldi yakin mukanya memerah. Dan tentunya mereka semua menjadi pusat perhatian oleh orang-orang yang berada di lorong itu. Dan tanpa disadari, senyum kecil menghiasi wajah Yuyi.